Agama Baha'i (Baha'ism)


Agama Bahá’í dimulai di Iran pada abad 19. Pendirinya bernama Bahá’u’lláh. Pada awal abad kedua puluh satu, jumlah penganut Bahá’í sekitar enam juta orang yang berdiam di lebih dari dua ratus negeri di seluruh dunia. Baha'i berasal dari aliran/agama Babiyah oleh Mirza Ali (1252H/ 1820M) yang beraqidah Syi'ah Itsna Asy'aiyah dan dikenal sebagai Sang Bab. Sedangkan Baha'ullah adalah muridnya Mirza Ali.

Dalam ajaran Bahá’í, sejarah keagamaan dipandang sebagai suatu proses pendidikan bagi umat manusia melalui para utusan Tuhan, yang disebut para "Perwujudan Tuhan". Bahá’u’lláh dianggap sebagai Perwujudan Tuhan yang terbaru. Dia mengaku sebagai pendidik Ilahi yang telah dijanjikan bagi semua umat dan yang dinubuatkan dalam agama Kristen, Islam, Buddha, dan agama-agama lainnya. Dia menyatakan bahwa misinya adalah untuk meletakkan pondasi bagi persatuan seluruh dunia, serta memulai suatu zaman perdamaian dan keadilan, yang dipercayai umat Bahá’í pasti akan datang.

Mendasari ajaran Bahá’í adalah asas-asas keesaan Tuhan, kesatuan agama, dan persatuan umat manusia. Pengaruh dari asas-asas hakiki ini dapat dilihat pada semua ajaran kerohanian dan sosial lainnya dalam agama Bahá’í. Misalnya, orang-orang Bahá’í tidak menganggap "persatuan" sebagai suatu tujuan akhir yang hanya akan dicapai setelah banyak masalah lainnya diselesaikan lebih dahulu, tetapi sebaliknya mereka memandang persatuan sebagai langkah pertama untuk memecahkan masalah-masalah itu. Hal ini tampak dalam ajaran sosial Bahá’í yang menganjurkan agar semua masalah masyarakat diselesaikan melalui proses musyawarah. Sebagaimana dinyatakan Bahá’u’lláh: "Begitu kuatnya cahaya persatuan, sehingga dapat menerangi seluruh bumi." Iman Baha'i adalah agama Abrahamik.

Ajaran Baha'i

Simbol/Lambang

Bintang Sembilan Kaki
Sebuah bintang sembilan menunjuk sederhana umumnya digunakan oleh Baha'is sebagai simbol Iman mereka. Nomor sembilan memiliki makna khusus dalam Wahyu Baha'i.

Kata "Baha" (bahasa Arab untuk "Mulia") sesuai dengan nomor sembilan dalam sistem bahasa Arab numerologi, yang dikenal sebagai sistem Abjad. Sembilan tahun setelah pengumuman Bab di Shiraz, Bahá'u'lláh menerima pemberitahuan dari misi-Nya dalam penjara di Teheran.

Sembilan, karena jumlah satu digit tertinggi, melambangkan kelengkapan dan puncak. Sebagai Iman Baha'i mengklaim sebagai pemenuhan harapan semua agama sebelumnya, simbol ini, seperti yang digunakan, misalnya, dalam sembilan-sisi Rumah Ibadah Baha'i, mencerminkan bahwa rasa pemenuhan dan puncak.

The Ringstone Simbol
Tujuan dari simbol yang muncul di ringstones Baha'i dan lainnya perhiasan Baha'i identitas berfungsi sebagai pengingat visual dari tujuan Allah bagi manusia, dan untuk Bahai pada khususnya. Bar horizontal atas merupakan dunia Allah, Sang Pencipta. Bar tengah melambangkan dunia Manifestasi-Nya, tanpa hiasan. Bar bawah mewakili dunia manusia.

Garis vertikal bergabung dengan tiga bar horizantal bersama-sama dengan cara yang sama bahwa Rasul Ilahi Allah membentuk hubungan antara dunia Tuhan dan dunia manusia. Yang berujung lima bintang kembar di kedua sisi desain mewakili Bab dan Bahá'u'lláh, para rasul kembar Allah untuk usia ini. Simbol ringstone dirancang oleh Abdu'l-Baha.

The Greatest Nama
Terutama dihargai oleh Baha'i adalah bentuk kaligrafi dari Baha kata yang dikenal sebagai Nama Greatest, referensi untuk Bahá'u'lláh. Dalam kategori ini adalah simbol menengah ke atas, yang terukir pada dering pribadi dan bangunan untuk membangun identitas mereka Baha'i.

Bentuk lain dari kaligrafi Nama Greatest, di bagian kanan atas, adalah doa dalam bahasa Arab, "Ya Baha'u'l-Abha," yang berarti, "Wahai Mulia yang ter-mulia." Hal ini ditampilkan dalam rumah Baha'i dan tempat-tempat kegiatan Baha'i.[Google Traslate dari situs http://www.bahai.us/welcome/principles-and-practices/bahai-symbols/]

Tuhan
Para penganut agama Bahá’í beriman kepada Tuhan Yang Esa, dan Bahá’u’lláh menegaskan bahwa semua percobaan untuk memahami atau mengisyaratkan Realitas Ilahi dalam pernyataan mana pun, tidak lain hanyalah penipuan diri: "Bagi mereka yang berilmu dan hatinya diterangi, telah terbukti bahwa Tuhan, Hakikat yang tak dapat diketahui, Keberadaan Suci, sangatlah dimuliakan melebihi segala sifat manusia, seperti keberadaan jasmani, naik dan turun, maju dan mundur. Jauhlah dari kemuliaan-Nya bahwa lidah manusia dapat mengatakan pujian yang cukup bagi-Nya, atau hati manusia memahami rahasia-Nya yang tak terkira." Menurut ajaran Bahá’í, alat yang dipakai oleh Pencipta segala makhluk untuk berinteraksi dengan ciptaan-Nya yang terus berevolusi adalah munculnya Sosok-sosok kerasulan yang mewujudkan sifat-sifat dari Ketuhanan Yang tak dapat dijangkau itu: "Oleh karena pintu pengetahuan Sang Purba ditutup sedemikian rupa di depan wajah semua makhluk, maka Sumber kemuliaan yang tak terhingga … telah menyebabkan para Permata Kesucian muncul dari alam rohani, dalam bentuk mulia badan manusia dan dijelmakan kepada seluruh umat manusia, agar mereka membagikan rahasia Tuhan … kepada dunia, dan mengabarkan tentang kehalusan Hakikat-Nya yang kekal." Menurut Bahá’u’lláh, apa yang dimaksud dengan "mengenal Tuhan", adalah mengenal para Perwujudan yang menyatakan kehendak-Nya dan sifat-sifat-Nya, dan justru di sinilah jiwa menjadi akrab dengan Pencipta Yang melebihi bahasa maupun pemahaman.

Agama Bahá’í menganggap para "Perwujudan Tuhan" itu, yang telah menjadi pendiri agama-agama besar di dunia, sebagai wakil Tuhan di bumi dan pembimbing utama umat manusia. Menurut ajaran Bahá’u’lláh, semua perbedaan dan pembatasan yang berkaitan dengan wahyu mereka masing-masing telah ditentukan oleh Tuhan sesuai dengan kebutuhan misinya. Oleh karena itu, orang-orang Bahá’í tidak meninggikan salah satu Perwujudan di atas yang lainnya, tetapi menganggap, dalam kata-kata Bahá’u’lláh, bahwa mereka semua "berdiam dalam kemah yang sama, membubung di langit yang sama, duduk di atas takhta yang sama, mengucapkan sabda yang sama, serta mengumumkan Agama yang sama".

Agama
Menurut Bahá’u’lláh: "Agama merupakan sarana terbesar untuk menciptakan tata tertib di dunia dan kebahagiaan yang sentosa bagi semua yang berdiam di dalamnya.” Mengenai kemunduran atau penyelewengan agama, dia menulis: "Jika lampu agama meredup, maka keributan dan kekacauan akan terjadi, cahaya-cahaya kejujuran, keadilan, ketenangan dan kedamaian, akan berhenti bersinar.” Jadi, peran agama dinilai sangat penting bagi mereka. Sebagaimana telah ditulis oleh Bahá’u’lláh: “Agama Tuhan adalah untuk kasih dan persatuan; janganlah membuatnya penyebab kebencian dan perselisihan.”

Dalam pandangan Bahá’í, agama memiliki dua aspek, yaitu aspek hakiki dan aspek sementara. Aspek hakiki adalah ajaran-ajaran kerohanian yang tidak berubah, sedangkan aspek sementara adalah peraturan-peraturan yang diberikan sesuai dengan keperluan zamannya. Tulisan Bahá’í mengumpamakan para Perwujudan Tuhan dengan seorang dokter, yang tugasnya adalah “menyembuhkan umat manusia yang terpecah-belah dari penyakitnya.” Obat yang diberikan pada suatu zaman tidak akan sama dengan obat yang diberikan pada zaman berikutnya. Oleh karena itu, agama-agama besar di dunia tampaknya berbeda-beda. Tapi sebenarnya, menurut ajaran Bahá’í, semua agama itu tunggal dan berasal dari Sumber yang sama.

Menurut ajaran Bahá’í, agama Tuhan sesuai dengan ilmu pengetahuan. Kepercayaan yang tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan bukanlah iman tetapi ketakhayulan belaka.

Manusia
Ajaran sosial yang terpenting dari agama Bahá’í adalah kesatuan umat manusia dan persatuan dunia. Dalam kata-kata Bahá’u’lláh: “Kemah kesatuan telah ditegakkan; janganlah engkau memandang satu sama lain sebagai orang asing. Engkau adalah buah-buah dari satu pohon dan daun-daun dari satu dahan.” “Bumi hanyalah satu tanah air dan umat manusia warganya.” Pada tingkat individu dan masyarakat, orang-orang Bahá’í dianjurkan untuk menghapus segala macam prasangka buruk yang berdasarkan ras, agama, atau kelas sosial. Dan sebagai umat beragama, orang-orang Bahá’í didorong untuk berasosiasi dan bekerja bersama dengan semua agama lainnya. Kata Bahá’u’lláh: “Bergaullah dengan para pengikut semua agama dengan penuh keramah-tamahan dan persahabatan.”

Pada tingkat global, Bahá’u’lláh telah memberikan beberapa ajaran berkaitan dengan masalah perdamaian internasional. Dia menyeru kepada para pemimpin dunia agar mengadakan suatu pertemuan akbar yang akan melahirkan dasar dari hukum internasional yang dapat menyelesaikan masalah-masalah antarnegara. Dia menganjurkan prinsip keamanan kolektif pada skala sedunia: “Saatnya pasti tiba, tatkala semua orang menyadari kebutuhan yang sangat penting untuk mengadakan pertemuan besar yang mencakup seluruh umat manusia. Para penguasa dan raja-raja di dunia harus menghadirinya, dan mereka—dengan berpartisipasi dalam musyawarahnya—harus mempertimbangkan cara-cara dan sarana-sarana untuk meletakkan dasar Perdamaian Agung sedunia di antara sesama manusia. Perdamaian semacam itu menuntut agar negara-negara yang paling besar dan berkuasa bertekad untuk mewujudkan kerukunan sepenuhnya di antara mereka sendiri demi ketenteraman semua bangsa di dunia. Seandainya ada seorang raja mengangkat senjata melawan raja yang lain, maka semua harus bangkit dan mencegahnya bersama-sama. Jika hal ini dilakukan, negara-negara di dunia tak akan lagi memerlukan persenjataan, kecuali untuk tujuan menjaga keamanan dan memelihara ketertiban dalam negeri di wilayah mereka masing-masing.”

Agama Bahá’í mengajarkan persamaan hak kaum wanita dengan kaum pria. Tulisan Bahá’í menyatakan: “Dunia kemanusiaan memiliki dua sayap—yang satu kaum wanita dan yang satu lagi kaum pria. Burung itu tidak dapat terbang sebelum kedua sayapnya itu berkembang ke tingkat yang sama.” Kemajuan kaum wanita juga dianggap sebagai prasyarat bagi tercapainya perdamaian dunia.

Salah satu ajaran yang diberi tekanan khusus dalam agama Bahá’í adalah pendidikan. Bahá’u’lláh berkata: “Anggaplah manusia sebagai tambang yang kaya dengan permata-permata yang tak ternilai harganya. Hanya pendidikanlah yang dapat menampakkan kekayaannya itu dan memungkinkan umat manusia mendapatkan keuntungan darinya.” Pendidikan universal adalah asas Bahá’í dan semua keluarga Bahá’í dianjurkan untuk mendidik anak-anaknya. Dan apabila dalam suatu keluarga dana tidak tersedia untuk mendidik semua anak, maka diusulkan agar prioritas diberikan kepada anak perempuan, karena anak perempuanlah yang kelak akan menjadi ibu, dan ibu adalah pendidik pertama dari generasi baru.

Baha'iyah (Baha'ism) Bukan Bagian Dari Islam

Baha’iyah atau baha’isme ini menyatukan atau menggabungkan agama-agama: Yahudi, Nasrani, Islam dan lainnya menjadi satu. Hingga aliran ini jelas-jelas dinyatakan sebagai non-Islam. Aliran ini berasal dari Syi’ah Itsna ‘Asyariyah yang Pendirinya adalah Mirza Ali Muhammad al-Syairazi (sang Bab) lahir di Iran 1252H/ 1820M. Dia menyerukan bahwa dirinya adalah potret dari nabi-nabi terdahulu. Tuhan pun menyatu dalam dirinya (hulul), risalah Nabi Muhammad SAW bukan risalah terakhir.

Mirza Ali dibunuh pemerintah Iran tahun 1850, saat berumur 30 tahun. Yang pada akhirnya dimakamkan di Haifa, Israel. Sebelum mati, Mirza memilih dua muridnya, Subuh Azal dan Baha’ullah. Keduanya diusir dari Iran. Subuh Azal ke Cyprus, sedang Baha’ullah ke Turki. Pengikut Baha’ullah lebih banyak, hingga disebut Baha’iyah atau Baha’isme, dan kadang masih disebut aliran Babiyah, nama yang dipilih pendirinya, Mirza Ali. Kemudian kedua tokoh itu bertikai, Subuh Azal diusir dari Turki. Baha’ullah diusir ke Akka Palestina. Di sana ia memasukkan unsur syirik dan menentang Al-Quran dengan mengarang Al-Kitab Al-Aqdas (yang lebih suci) diakui sebagai wahyu, Ia menganggap agamanya universal, semua agama dan ras bersatu di dalamnya. Rumah ibadah Bahá’í di New Delhi, India.

Sejarah Agama Baha'i

Báb(Mirza Ali Muhammad Asy-Syairazi)
http://strikethepins.blogspot.com/Pada tahun 1844 Sayyid ‘Alí Muhammad (Mirza Ali Muhammad Asy-Syairazi) dari Shíráz, Iran, yang lebih dikenal dengan gelarnya Sang Báb (artinya “Pintu” dalam bahasa Arab), mengumumkan bahwa dia adalah pembawa amanat baru dari Tuhan. Dia juga menyatakan bahwa dia datang untuk membuka jalan bagi wahyu yang lebih besar lagi, yang disebutnya “Dia yang akan Tuhan wujudkan”. Antara lain, Sang Báb mengajarkan bahwa banyak tanda dan peristiwa yang ada dalam Kitab-kitab suci harus dimengerti dalam arti kias, bukan arti harfiah. Dia melarang perbudakan, juga melarang perkawinan sementara, yang pada waktu itu merupakan praktek Syiah Iran. Ia diasaskan oleh orang Yahudi yang menyamar sebagai orang Islam mengunakan nama Mirza Muhammad Ali Syirazi yang telah meninggal dunia pada tahun 1853. Pergerakan ini timbul di kalangan Syiah Imamiyah di sebuah kawasan yang bernama Syirazi di dalam wilayah Iran sekarang ini.

Perkataan ‘Albab’ itu sendiri diambil daripada sabda Nabi Muhammad SAW yang bermaksud:
“Aku kota ilmu dan Ali adalah pintunya”.

Menurut fahaman Syiah, Saidina Ali merupakan pintu yang dimaksudkan itu tetapi Mirza Ali telah mendakwa dirinya seperti yang dimaksudkan hadis tersebut dan menamakan ajarannya sebagai ‘Babiyah’ atau ‘Bahaiyah’. Setelah diasaskan, pergerakan ini dianggotai oleh 15 orang Yahudi di Tehran, 100 orang di Hamdan, 50 orang Yahudi di Kausan dan 15 orang Yahudi di Kalbakian.

Pada awal penubuhannya, pergerakan ini telah mendapat sambutan yang menggalakkan kerana pada awalnya, pergerakan dizahirkan sebagai suka kepada amalan Islam yang tulen. Namun selepas itu pergerakan ini telah menyeleweng daripada kehendak Islam dengan mengajak umat manusia untuk keluar daripada semua anutan keagamaan dan membentuk kesatuan agama yang dirumus oleh Mirza Muhammad Ali Syirazi. Beliau bercita-cita membentuk sebuah kerajaan antarabangsa yang mempunyai kesatuan dari segi agama, bahasa dan negara.

Beliau menyeru umat manusia supaya menghancurkan semua tempat ibadat yang ada dan melakukan ibadat Haji di sebuah gunung yang bernama Karmal Ba’ka yang merupakan tanah perkuburan orang-orang Bahaiyah. Lebih dari pada itu, orang-orang Bahaiyah menyokong penuh pembentukan tanah air nasional Yahudi di Palestin dan penubuhan negara Israel. Mirza Ali Muhammad telah mengeluarkan fatwa bahawa ketiga-tiga agama iaitu Yahudi, Kristian dan Islam adalah benar dan semuanya datang dari Allah.

Beliau juga menyeru supaya disatukan ketiga-tiga agama ini agar membentuk satu agama yang diberi nama ‘Dinullah’ atau ‘Agama Internasional’. Kemudian, beliau mendakwa dirinya sebagai ‘Al-Mahdi’ dan ‘Khalifah’ dari pada Nabi Musa, Isa dan Muhammad SAW. Berikutan dakwaan itu, beliau dijatuhkan hukuman mati oleh pemerintah Iran pada ketika itu yang bernama Syah Tibriz. Selepas kematiannya, semua penganut ajaran ini lari menyelamatkan diri ke merata tempat terutamanya Turki dan Palestin.

Agama Báb tumbuh dengan pesat di semua kalangan di Iran, tetapi juga dilawan dengan keras, baik oleh pemerintah maupun para pemimpin agama. Sang Báb dipenjarakan di benteng Máh-Kú di pegunungan Azerbijan, di mana semua penduduk bersuku bangsa Kurdi, yang dikira membenci orang Syiah; tetapi tindakan itu tidak berhasil memadamkan api agamanya, dan mereka pun menjadi sangat ramah terhadap Sang Báb. Kemudian dia dipenjarakan di benteng Chihríq yang lebih terpencil lagi, tetapi itu juga tidak berhasil mengurangi pengaruhnya. Pada tahun 1850 Sang Báb dihukum mati dan dieksekusi di kota Tabríz. Jenazahnya diambil oleh para pengikutnya secara diam-diam, dan akhirnya dibawa dari Iran ke Bukit Karmel di Palestina (sekarang Israel) dan dikuburkan di suatu tempat yang ditentukan oleh Bahá’u’lláh. Makam Sang Báb kini menjadi tempat berziarah yang penting bagi umat Bahá’í.

Tidak lama selepas itu, pergerakan ini telah timbul kembali di wilayah Palestin yang dipimpin oleh Mirza Husin Ali Bahaillah. Malaon ini lahir pada 1817 dan meninggal dunia pada tahun 1892. Beliau telah mendakwa dirinya sebagai wakil (Khalifah) daripada Mirza Ali Muhammad untuk meneruskan ajaran Babiyah. Beliau kemudian menukar Babiyah kepada Bahaiyah mengambil sempena namanya iaitu Bahaillah.

Selepas kematiannya pada tahun 1892, anaknya yang bernama Abdul Baha’ telah mengembangkan ajaran ini ke seluruh dunia terutama di Eropah dan Amerika Syarikat. Pergerakan ini tidak begitu masyhur di negara Islam tetapi amat aktif di Barat dengan menerbitkan pelbagai jenis risalah dan buku berkenaan fahaman mereka. Pusat pentadbiran Bahaiyah sekarang terletak di Haifa, kawasan penjajahan Israel. Manakala cawangannya terletak di Chicago, Amerika Syarikat yang merupakan pusat pentadbiran Zionis Antarabangsa. Sebagaimana yang kita maklumi bahawa Chicago juga merupakan pusat pentadbiran bagi Gerakan Freemasonry.

Bahá’u’lláh (Mírzá Husayn ‘Alí Nuri Baha'illah)
Antara tahun 1848 dan 1852, lebih dari 20.000 penganut agama Báb telah dibunuh, termasuk hampir semua pemimpinnya. Mírzá Husayn ‘Alí yang lebih dikenal dengan gelarnya Bahá’u’lláh (artinya “Kemuliaan Tuhan” dalam bahasa Arab) adalah seorang bangsawan Iran yang menjadi pendukung utama Sang Báb. Pada tahun 1852, ketika Bahá’u’lláh ditahan di penjara bawah tanah Síyáh-Chál (“lubang hitam”) di kota Teheran, dia menerima permulaan dari misi Ilahinya sebagai “Dia yang akan Tuhan wujudkan” sebagaimana telah diramalkan oleh Sang Báb. Bahá’u’lláh menceritakannya sebagai berikut: “Suatu malam dalam mimpi, firman-firman yang luhur ini terdengar dari segenap penjuru: ‘Sesungguhnya, Kami akan memenangkan-Mu melalui Diri-Mu serta pena-Mu. Janganlah Engkau bersedih hati atas apa yang telah menimpa-Mu, dan janganlah takut pula, sebab Engkau ada dalam keadaan selamat. Tak lama lagi, Tuhan akan membangkitkan harta-harta bumi, orang-orang yang akan membantu-Mu melalui Diri-Mu dan melalui Nama-Mu, dengan mana Tuhan telah menghidupkan kembali hati mereka yang mengenal Dia.’”

Bahá’u’lláh dibebaskan dari Síyáh-Chál, tetapi dia diasingkan dari Iran ke Baghdad, ‘Iráq. Pada awalnya, Bahá’u’lláh tidak mengumumkan misinya kepada para penganut agama Báb lainnya di ‘Iráq, yang berada dalam keadaan sangat kacau dan hina. Dia mulai mendidik dan menghidupkan kembali umat itu melalui tulisannya dan teladannya, dan beberapa Kitab suci Bahá’í yang penting berasal dari masa Baghdad ini, seperti Kalimat Tersembunyi, Tujuh Lembah, dan Kitáb-i-Íqán (“Kitab Keyakinan”). Pada tahun 1863, di sebuah taman yang diberi nama Taman Ridwán, Bahá’u’lláh mengumumkan misinya kepada para pengikut Báb yang berada di Baghdad, dan sejak itu agama ini dikenal sebagai agama Bahá’í.

Segera setelah pengumuman itu, Bahá’u’lláh diminta oleh pemerintahan Turki untuk pindah ke Konstantinopel (Istanbul), dan dari sana ke kota Adrianopel (Edirne). Di Adrianopel Bahá’u’lláh mulai mengirimkan “Loh-loh” kepada berbagai raja dan pemimpin dunia, yang mengumumkan kepada mereka kedatangan Hari Tuhan dan menyerukan agar mereka berdamai. Misalnya, salah satu loh yang ditujukan kepada para raja secara kolektif, berbunyi: “Wahai raja-raja di bumi! Kami melihat engkau setiap tahun meningkatkan pengeluaranmu, dan membebankannya pada rakyatmu. Ini sesungguhnya, sama sekali dan jelas tidak adil.…Rakyatmu adalah hartamu…jangan sampai engkau menyerahkan rakyatmu ke tangan perampok.…Wahai para penguasa di bumi! Berdamailah di antaramu sendiri, sehingga engkau tidak lagi memerlukan persenjataan, kecuali apa yang dibutuhkan untuk menjaga wilayah-wilayah…dalam kekuasaanmu.…Wahai raja-raja di bumi! Bersatulah, karena dengan demikianlah prahara perselisihan akan berakhir di antaramu, dan rakyatmu akan memperoleh ketenangan…”

Pada tahun 1868, Bahá’u’lláh diasingkan ke kota ‘Akká di Palestina (sekarang Israel), yang pada waktu itu dipakai sebagai penjara oleh kekaisaran Usmani. Pada awalnya, Bahá’u’lláh dipenjarakan di barak di ‘Akká, tetapi dengan berlalunya waktu kondisi hidupnya semakin membaik, walaupun secara resmi dia masih seorang pesakitan. Kitab suci yang mengandung kebanyakan hukum Bahá’í, Kitáb-i-Aqdas (“Kitab Tersuci”), diturunkan di ‘Akká. Pada tahun 1892, Bahá’u’lláh wafat di Bahjí dekat ‘Akká, tempat yang menjadi Qiblat agama Bahá’í.

‘Abdu’l-Bahá
Dalam Kitáb-i-‘Ahd, surat wasiatnya, Bahá’u’lláh telah menunjuk putranya, ‘Abdu’l-Bahá sebagai pemimpin agamanya dan Penafsir tulisannya. Hal itu menjamin agar agama Bahá’í tidak mengalami perpecahan.

‘Abdu’l-Bahá telah mengalami pembuangan dan pemenjaraan yang panjang bersama ayahnya. Setelah dia dibebaskan sebagai akibat dari “Revolusi Pemuda Turki” (pada tahun 1908), dia mengadakan suatu perjalanan besar selama tahun 1910-1913 ke Mesir, Inggris, Skotlandia, Perancis, Amerika Serikat, Jerman, Austria, dan Hungaria, di mana dia mengumumkan prinsip-prinsip ajaran Bahá’í. ‘Abdu’l-Bahá juga mengirimkan ribuan surat ke masyarakat-masyarakat Bahá’í setempat di Iran, dengan akibat umat itu yang dahulu miskin dan hina menjadi berpendidikan dan mandiri. ‘Abdu’l-Bahá wafat di Haifa pada tahun 1921, dan kini dikuburkan di salah satu ruang dari Makam Sang Báb.

Shoghi Effendi dan Balai Keadilan Sedunia
Dalam Surat Wasiat ‘Abdu’l-Bahá, cucunya, Shoghi Effendi ditunjuk sebagai “Wali Agama Tuhan”. Selama masa hidupnya, Shoghi Effendi menterjemahkan banyak tulisan suci Bahá’í, melaksanakan berbagai rencana global untuk pengembangan masyarakat Bahá’í, mengembangkan Pusat Bahá’í Sedunia, melakukan surat-menyurat dengan banyak masyarakat dan individu Bahá’í di seluruh dunia, dan membangun struktur administrasi Bahá’í yang mempersiapkan jalan untuk didirikannya Balai Keadilan Sedunia. Shoghi Effendi meninggal pada tahun 1957.

Menurut Kitáb-i-Aqdas, urusan masyarakat Bahá’í setempat dan nasional harus ditangani oleh badan-badan musyawarah yang sekarang dinamakan “Majelis Rohani”, yang terdiri dari sembilan anggota yang dipilih secara demokratis. Pada tingkat internasional, Kitáb-i-Aqdas menetapkan sebuah lembaga yang dinamakan “Balai Keadilan Sedunia”, yang dipilih oleh para anggota Majelis-majelis Rohani Nasional di seluruh dunia. Balai Keadilan Sedunia telah dipilih untuk pertama kalinya pada tahun 1963, dan sejak itu dipilih tiap lima tahun sekali. Selain berlaku sebagai pemimpin agama Bahá’í, Balai Keadilan Sedunia diberi fungsi khusus oleh Bahá’u’lláh untuk membuat hukum-hukum yang tidak ditetapkan dalam Kitáb-i-Aqdas; aspek ini dianggap penting karena memberi agama Bahá’í fleksibilitas untuk menghadapi perubahan zaman tanpa kehilangan persatuannya.

Statistik

Sumber-sumber Bahá’í biasanya memperkirakan jumlah penganut Bahá’í di atas 5 juta. Kebanyakan sumber lain memperkirakan antara 5-6 juta.

Menurut The World Almanac and Book of Facts 2004, Kebanyakan penganut Bahá’í hidup di Asia (3,6 juta), Afrika (1,8 juta), dan Amerika Latin (900.000). Menurut beberapa perkiraan, masyarakat Bahá’í yang terbesar di dunia adalah India, dengan 2,2 juta orang Bahá’í, kemudian Iran, dengan 350.000, dan Amerika Serikat, dengan 150.000. Selain negara-negara itu, jumlah penganut sangat berbeda-beda. Pada saat ini, belum ada negara yang mayoritasnya beragama Bahá’í. Guyana adalah negara dengan persentase penduduk yang beragama Bahá’í yang paling besar (7,0%).

Encyclopedia Britannica Book of the Year (1992-kini) memberikan informasi sebagai berikut:
  • Agama Bahá’í adalah agama paling tersebar di dunia setelah agama Nasrani menurut jumlah negeri di mana para penganut tinggal.
  • Agama Bahá’í ada di 247 negeri di seluruh dunia.
  • Anggota-anggotanya berasal dari lebih dari 2.100 suku, ras, dan suku bangsa.
  • Tulisan suci Bahá’í telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 800 bahasa.
Asas-asas sosial

Dari banyak ajaran Bahá’í, dua belas asas yang bersifat sosial berikut ini paling sering dikutip:
  • Keesaan Tuhan
  • Kesatuan agama
  • Persatuan umat manusia
  • Persamaan hak antara kaum wanita dan kaum pria
  • Penghapusan segala macam prasangka buruk
  • Perdamaian dunia
  • Persesuaian antara agama dan ilmu pengetahuan
  • Mencari kebenaran secara bebas
  • Keperluan untuk pendidikan universal yang wajib
  • Keperluan untuk bahasa persatuan sedunia
  • Tidak boleh campur tangan dalam politik
  • Penghapusan kemiskinan dan kekayaan yang berlebih-lebihan
Kehidupan Ummat Baha'i

Hukum Bahá’í
Kebanyakan hukum Bahá’í terdapat dalam Kitáb-i-Aqdas tetapi hukum-hukum itu akan diterapkan secara bertahap sesuai dengan keadaan masyarakat. Beberapa hukum Bahá’í yang sudah berlaku secara umum adalah yang berikut ini:
  • Sembahyang wajib Bahá’í.
  • Membaca tulisan suci tiap hari.
  • Dilarang bergunjing dan memfitnah.
  • Menjalankan puasa Bahá’í tiap tahun.
  • Minuman beralkohol dan obat bius dilarang, kecuali untuk perawatan medis.
  • Hubungan seksual diperbolehkan, tetapi hubungan homoseksual tidak diperbolehkan.
  • Dilarang berjudi.
Dalam ajaran Bahá’í, memisahkan diri dari dunia tidak diperbolehkan, tetapi sebaliknya manusia harus bekerja. Melakukan pekerjaan yang berguna dianggap beribadah.

Perkawinan
Perkawinan Bahá’í adalah bersatunya seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Tujuannya terutama bersifat rohani dan adalah demi keselarasan, persahabatan, dan persatuan pasangan itu. Ajaran Bahá’í menyebutkan perkawinan sebagai benteng kesejahteraan dan keselamatan dan menempatkan lembaga keluarga sebagai pondasi struktur masyarakat manusia. Bahá’u’lláh sangat memuji lembaga perkawinan dan menyatakannya sebagai perintah abadi Tuhan. Perceraian diperbolehkan, tetapi hanya setelah pasangan tinggal satu tahun terpisah, sambil mencoba menyelesaikan perselisihannya.

Dua orang Bahá’í yang ingin menikah harus saling mempelajari karakter mereka dan saling mengenal sebelum mengambil keputusan untuk menikah, dan ketika mereka menikah, maksud mereka harus untuk membuat suatu ikatan yang kekal. Orang tua tidak boleh memilih jodoh bagi anak-anak mereka, tetapi begitu dua orang memutuskan untuk menikah, pasangan itu wajib mendapatkan persetujuan dari semua orang tua, meskipun salah seorang dari pasangan itu tidak beragama Bahá’í. Upacara Bahá’í sangat sederhana; satu-satunya kewajiban adalah pembacaan ayat dari Kitáb-i-Aqdas yang berikut ini, oleh mempelai pria dan mempelai wanita, di depan dua orang saksi: "Kita semua, sesungguhnya, tunduk akan Kehendak Tuhan."

Administrasi
Kalender Bahá’í berdasarkan kalender yang telah ditetapkan Sang Báb. Satu tahun terdiri dari 19 bulan yang masing-masing terdiri dari 19 hari, ditambah 4 atau 5 hari sisipan yang membuatnya satu tahun matahari penuh. Tahun Baru Bahá’í, yang namanya “Naw-Rúz”, sama dengan Tahun Baru tradisional Iran, yang jatuh pada ekuinoks tanggal 21 Maret, pada akhir bulan puasa Bahá’í.

Urusan masyarakat setempat ditangani oleh Majelis Rohani Setempat, yang dipilih tiap tahun oleh para mukmin. Pemilihan itu harus dilakukan tanpa nominasi, partai, atau kampanye pada kenyataannya, semua orang dewasa adalah calon—dan dalam suasana penuh doa dan meditasi. Pada awal tiap bulan Bahá’í, ada pertemuan seluruh masyarakat setempat yang namanya “selamatan sembilan belas hari”. Di samping bertujuan berdoa bersama dan sosial, selamatan sembilan belas hari itu memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berinteraksi dengan Majelis Rohani Setempat, untuk mengajukan usulan dan bermusyawarah bersama.

Majelis Rohani Nasional juga dipilih tiap tahun dengan cara yang sama, tetapi melalui dua tahap, yaitu para mukmin di seluruh negeri memilih wakil-wakil yang kemudian memilih para anggota Majelis Rohani Nasional. Sebagaimana telah disebutkan, para anggota Majelis-majelis Rohani Nasional di seluruh dunia memilih Balai Keadilan Sedunia tiap lima tahun.

Di samping badan-badan musyawarah itu, ada pula beberapa individu yang ditunjuk untuk waktu tertentu, yang mendidik dan membantu masyarakat Bahá’í, terutama dalam hal pengembangan dan perlindungan agama. Tetapi individu-individu ini bukannya berfungsi sebagai pendeta, yang tidak ada dalam agama Baha'i.

Rumah ibadah
Rumah ibadah Bahá’í dinamakan “Mashriqu’l-Adhkár” (“Tempat-terbit pujian kepada Tuhan”), yakni tempat untuk berdoa, meditasi dan melantunkan ayat-ayat suci Bahá’í dan agama-agama lain. Rumah ibadah Bahá’í ini terbuka bagi orang-orang dari semua agama.

Rumah ibadah Bahá’í bertemakan ketunggalan: harus mempunyai sembilan sisi dengan sebuah kubah di tengahnya, dan direncanakan untuk masa depan sebagai pusat dari berbagai lembaga sosial bagi masyarakat setempat, termasuk rumah sakit, universitas, rumah jompo, dan lain sebagainya. Sampai sekarang di seluruh dunia ada tujuh Rumah ibadah Bahá’í—di New Delhi, India; Kampala, Uganda; Frankfort, Jerman; Wilmette, Illinois, Amerika Serikat; Panama City, Panama; Apia, Samoa Barat; dan Sydney, Australia.


Kegiatan
Di samping sembahyang wajib, yang dilakukan secara perseorangan, dan selamatan sembilan belas hari, ada pula kegiatan doa bersama, yang terbuka bagi orang dari semua agama, di mana doa-doa dibacakan dari tulisan suci berbagai agama. Masyarakat Bahá’í setempat juga melakukan pendidikan kerohanian bagi anak-anak serta suatu program pendidikan bagi orang dewasa dan pemuda yang dipelajari melalui kelompok-kelompok belajar. Program ini, yang pada awalnya dikembangkan oleh Institut Ruhi di Kolombia, Amerika Selatan, membahas berbagai tema, seperti kehidupan roh, doa, pendidikan anak-anak, pendidikan remaja, riwayat hidup Sang Báb dan Bahá’u’lláh, dan pengabdian sebagai dasar dari kehidupan. Kegiatan kelompok belajar dan kelas anak-anak juga terbuka bagi orang-orang dari agama apa saja yang ingin ikut serta.

Ada sembilan hari besar yang dirayakan oleh masyarakat Bahá’í, yang memperingati peristiwa-peristiwa khusus dalam sejarah Bahá’í.

Apabila masyarakat Bahá’í sudah cukup besar di suatu tempat, mereka didorong untuk merencanakan dan melakukan proyek-proyek pengembangan sosial dan ekonomi untuk membantu menangani berbagai masalah yang dihadapi masyarakat umum. Sampai sekarang kebanyakan proyek ini dalam bidang pendidikan dan kesehatan.

Perserikatan Bangsa-Bangsa
Umat Bahá’í telah mendukung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak permulaannya. Bahá’í International Community (“Masyarakat Internasional Bahá’í”), suatu badan yang berada di bawah arahan Balai Keadilan Sedunia, memiliki status “hak berkonsultasi” dengan organisasi-organisasi PBB yang berikut ini:
  • United Nations Economic and Social Council (ECOSOC)
  • United Nations Children’s Fund (UNICEF)
  • World Health Organization (WHO)
  • United Nations Development Fund for Women (UNIFEM)
  • United Nations Environment Program (UNEP)
Bahá’í International Community memiliki kantor di Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York dan Jenewa, juga perwakilan di komisi-komisi PBB regional serta kantor-kantor lainnya di Addis Ababa, Bangkok, Nairobi, Roma, Santiago dan Wina. Pada tahun-tahun terakhir ini suatu “Kantor Lingkungan Hidup” dan “Kantor untuk Kemajuan Kaum Perempuan” telah didirikan sebagai bagian dari Kantor PBB Bahá’í International Community itu. Agama Bahá’í juga telah bekerja bersama dalam mengembangkan program-program dengan berbagai instansi PBB lainnya. Dalam Millennium Forum dari Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2000, seorang Bahá’í menjadi satu-satunya orang non-pemerintah yang diundang untuk memberikan pidato.

Baha’i di Indonesia
Ajaran Baha’i ini masuk ke ke Indonesia sekitar tahun 1878 (sebelum matinya dedengkot Baha’i, Bahaullah di Israel 1892,) melalui Sulawesi yang dibawa dua orang pedagang: Jamal Effendi dan Mustafa Rumi. Melihat namanya tentu berasal dari Persia dan Turki. Ia berkunjung ke Batavia, Surabaya, dan Bali. Pusatnya terletak di Desa Banpres Kecamatan Palolo, Donggala. Basha’isme dilarang di Indonesia tahun 1962 karena ada segi-segi kegiatan mereka yang dianggap tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia serta menghambat penyelesaian Revolusi Indonesia. Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden No 264/ Tahun 1962 yang berisikan pelarangan tujuh organisasi, termasuk Baha’i.

Sumber

  • http://id.wikipedia.org/wiki/Baha'i
  • http://strikethepins.blogspot.com/
  • http://arifmaulana.com/blog/2012/11/29/sesatnya-ajaran-bahai/
  • Bahá’u’lláh, Gleanings from the Writings of Bahá’u’lláh.
  • ‘Abdu’l-Bahá, Paris Talks.
  • Shoghi Effendi, God Passes By.
  • The Promise of World Peace, a statement by the Universal House of Justice.
  • One Common Faith, a statement prepared under the direction of the Universal House of Justice.
  • World Centre Publications, The Bahá’í World 2004-2005.
  • Bahá’u’lláh and the New Era by John Esslemont.
  • The Dawnbreakers by Nabíl-i-A’zam.
  • The Revelation of Bahá’u’lláh by Adib Taherzadeh.