Assalamualaikum, setelah belajar Ilmu Tashawwuf di madrasah. Serasa kepingin berbagi ilmu sama ikhwan dan akhawat. Saya belajar dengan Ustadz. Tarmidzi, pelajaran tashawwuf dimadrasah, pada bab pertama mula-mula belajar untuk menggenal dan memahami ajaran tashawwuf itu apa. Nah, berikut intisari dari pelajaran yang udah dipelajari.
Menurut bahasa, tasawuf berasal dari bahasa Arab yaitu Sufi. Kata sufi berawal dari seorang sufi pertama yang merintis ilmu tasawuf dalam Islam, beliau bernama Abu Hasyim Al-Kufi berasal dari Iraq, beliau hidup di abad ke 8 Masehi dan wafat pada tahun 150 Hijriyah (Profil beliau kelak akan kita teliti lebih lanjut dan insya Allah akan kami tampilkan di tulisan berikutnya, amin Ya Allah). Dari Abu Hasyim Al-Kufi kita mengenal ilmu tasawuf, karena beliaulah orang pertama yang mendapat hidayah Allah untuk merintis tariqat (jalan) kehidupannya lewat jalur ihsan.
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution dalam bukunya yang berjudul "Falsafah & Mistisisme Dalam Islam", dalam bukunya ini beliau menuliskan bahwa ada 5 (lima) teori mengenai asal atau etimologi sufi, yaitu:
1. Ahl al-suffah yaitu orang-orang yang ikut pindah dengan Nabi dari Mekah ke Madinah, dan karena kehilangan harta, berada dalam keadaan miskin dan tak mempunyai apa-apa. Mereka tinggal di Mesjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai pelana sebagai bantal. Pelana tersebut diberi nama suffah. Inggrisnya Saddle-Cushion dan kata sofa dalam bahasa Eropa berasal dari kata suffah. Sungguhpun miskin ahl-suffah berhati baik dan mulia. Sifat tidak mementingkan keduniaan, miskin tetapi berhati baik dan mulia itulah sifat-sifat kaum sufi.
2. Saf Pertama. Sebagaimana halnya dengan orang sembahyang di saf pertama mendapatkan kemuliaan dan pahala, demikian pula kaum sufi dimuliakan Allah dan diberi pahala.
3. Sufi dari shoofii dan shofii yaitu suci. Seorang sufi adalah orang yang disucikan dan kaum sufi adalah orang-orang yang telah mensucikan dirinya melalui latihan berat dan lama.
4. Sophos, kata Yunani yang berarti hikmat. Orang sufi betul ada hubungannya dengan hikmat, hanya huruf s dalam sophos ditrasliterasikan ke dalam bahasa Arab menjadi sin dan bukan shot, sebagai kelihatan dalam kata filsafat dari kata philosophia. Dengan demikian seharusnya sufi ditulis dengan suufii dan bukan shuufii.
5. Suf, kain yang dibuat dari bulu yaitu wol. Hanya kain wol yang dipakai kaum sufi adalah wol kasal dan bukan wol halus seperti sekarang . Memakai wol kasar di waktu itu adalah simbol kesederhanaan dan kemiskinan. Lawannya ialah memakai sutra, oleh orang yang mewah hidupnya di kalangan pemerintahan. Kaum sufi sebagai golongan yang hidup sederhana dan dalam keadaan miskin, tetapi berhati suci dan mulia, menjauhi pemakaian sutra dan sebagai gantinya memakai wol kasar.
Sebagaimana diketahui, bahwa para peneliti tentang Tasawuf memiliki pandangan yang berbeda tentang asal kata yang membentuk frase Tasawuf itu. Berbagai pertanyaan pun lahir dari masalah ini; apakah “sufi” adalah kata asli bahasa Arab atau kata asing yang ‘diarabkan’? Jika ia adalah kata asing, dari bahasa manakah ia berasal? Jika ia adalah kata asli bahasa Arab, apakah ia kata yang jamid atau musytaq?[Majmu’ah al-Rasa’il al-Kubra: Ibnu Taimiyah, Mathba’ah Ali Shubaih, Tahun 1385 H/ 1966 M.]
Perdebatan seputar asal pembentukan “Tasawuf” atau “sufi” ini juga diulas oleh Ibnu Taimiyah. Dalam ulasannya, ia menguraikan semua pandangan yang ada dalam masalah ini, mendiskusikannya lalu kemudian menyampaikan pandangannya sendiri yang disertai dengan dalil dan argumentasinya. Dari semua pendapat yang ada, umumnya kritik yang dilontarkan oleh Ibnu Taimiyah berkaitan dengan kaidah kebahasaan dalam penisbatan sebuah kata untuk kemudian menjadi “sufi”. Meski terkadang kritiknya juga terkait dengan wawasannya tentang sejarah.
Salah satu contohnya adalah ketika ia mengkritik pendapat yang mengatakan bahwa “sufi” adalah penisbatan kepada Ahl al-Shuffah. Ibnu Taimiyah mengatakan,
Salah satu contohnya adalah ketika ia mengkritik pendapat yang mengatakan bahwa “sufi” adalah penisbatan kepada Ahl al-Shuffah. Ibnu Taimiyah mengatakan,
“Penisbatan (sufi) kepada ‘al-Shuffah’adalah sebuah kekeliruan. Sebab jika (‘sufi’ adalah penisbatan kepada ‘al-Shuffah’), maka seharusnya menjadi ‘shuffy’ صفي , dan bukan ‘sufi’ ’.صوفي4
Di samping itu, ia juga menafikan –berdasarkan fakta sejarah- pendapat ini dengan menyatakan bahwa Shuffah yang terletak di bagian selatan Mesjid Rasulullah saw kala itu bukanlah tempat yang khusus dihuni oleh kelompok tertentu. Tempat itu sepenuhnya untuk orang-orang yang datang ke Madinah sementara mereka tidak mempunyai keluarga atau rumah di Madinah. Kaum muslimin yang berasal dari luar Madinah jika berkunjung ke kota itu dapat menginap di mana saja, dan Shuffah menjadi alternatif terakhir bila mereka tidak menemukan tempat bernaung. Karena itu –menurut Ibnu Taimiyah- penghuni Shuffah selalu berganti. Terkadang jumlahnya banyak, tapi pada kali yang lain menjadi sedikit. Karakternya pun berbeda-beda; ada yang ahli ibadah dan ilmu, namun ada pula yang tidak demikian. Bahkan, diantara mereka kemudian ada yang murtad dan diperangi oleh Nabi saw. Karena itu, tidak ada alasan untuk menisbatkan “sufi” kepada Ahl al-Shuffah.[Manhaj Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah al-Tajdidy al-Salafy wa Da’watuhu al-Ishlahiyah: DR. Sa’id ‘Abdul ‘Azhim, Dar al-Iman, Alexandria, Cetakan tahun 2004.]
Pada akhirnya, Ibnu Taimiyah lebih menguatkan pandangan yang menyatakan bahwa “sufi” adalah sebuah penisbatan pada pakaian shuf ( صوف )bulu domba. Di samping karena alasan kaidah kebahasaan, dari segi fakta, para sufi dan zuhhad juga banyak mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba.[Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah: Ibnu Taimiyah, Tahqiq: DR. Muhammad Rasyad Salim, Maktabah al-Riyadh al-Haditsah. t.t.]
Namun, Ibnu Taimiyah memberikan catatan penting yang patut direnungkan. Ia mengingatkan bahwa mengenakan model pakaian tertentu (seperti yang terbuat dari bulu domba) sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai tanda atau bukti kewalian seseorang.
Ia mengatakan,“Para wali Allah sama sekali tidak memiliki ciri yang menjadi kekhasan mereka secara lahiriah dari hal-hal yang mubah. Mereka tidak menjadi beda dengan mengenakan model pakaian tertentu lalu meninggalkan model yang lain, selama keduanya adalah perkara yang mubah.”[Al-Mu’jam al-Falsafy: DR. ‘Abd al-Mun’im al-Hifny, al-Dar al-Syarqiyah, Kairo, Cetakan pertama, Tahun 1410 H/1990 M.]Hal ini mengantarkan pada kesimpulan lain bahwa dalam hal ini, Ibnu Taimiyah lebih mementingkan ‘isi’ dan ‘kandungan’ yang sesungguhnya daripada harus mementingkan penampilan lahiriah. Itulah sebabnya, dalam mengulas tentang Tasawuf, ia tidak terpaku pada istilah ini secara baku. Ia juga menggunakan istilah “al-Fuqara’”(kaum fakir), “al-Zuhhad” (kaum pelaku kezuhudan), “al-Salikin” (para penempuh jalan menuju Allah), “Ashab al-Qalb” (pemerhati dan pemilik hati), “Arbab al-Ahwal”(para penempuh ahwal), “Ashab al-Shufiyah” (pelaku jalan sufi), atau Ashab al-Tashawwuf al-Masyru’ (pelaku Tasawuf yang disyariatkan); semuanya untuk menunjukkan satu makna, yaitu para penempuh jalan ruhani dalam Islam.[Al-Mu’jizah wa Karamat al-Auliya’: Ibnu Taimiyah, Maktabah al-Syarq al-Jadid, Baghdad, t.t.]Sebagaimana ia juga menegaskan bahwa jalan ruhani ini samasekali tidak menjadi monopoli kelompok tertentu. Para ulama, qurra’ dan yang lainnya pun dapat dikategorikan sebagai para penempuh jalan ini, sebab –baginya- Islam adalah sebuah keutuhan antara zhahir dan bathin, jiwa dan raga.[ Mukhtar al-Shihah: Abu Bakr al-Razy, Al-Mathba’ah al-Amiriyyah, Kairo, t.t.].
dari situs Abul Miqdad Al-Madany