Pada tulisan saya yang lalu telah saya jelaskan tentang pengertian tasawuf, barang kali yang perlu saya jelaskan pada pertemuan kali ini adalah tentang pengertian akhlaq, untuk menemukan singkronisasi antara tasawuf dengan akhlaq, sehingga kita temukan pengertian tentang tasawuf akhlaqi yang dulunya sangat gencar dibicarakan oleh para sufi sehingga sistem tasawuf akhlaqi ini telah sukses melahirkan cendikiawan berpribadi tercerahkan seperti Hasan Bashri, Al-Muhasibi, Al-Qusyairi, Al-Gazali, dll, sungguh menakjubkan membuat kita semakin tertarik mendalaminya untuk kita ambil hikmah yang terkandung di dalamnya sebagai bekal kita merentas jalan menuju cahaya yang sama seperti cahaya yang telah ditemukan Adam dan Hawa sewaktu masih di surga sebelum hijrah ke bumi, atau seperti yang ditemukan Musa di bukit tursina, atau Muhammad di sidratul muntaha dan para sufi dalam tenda-tenda perzikirannya sehingga terbebas dari belenggu kelam hitam kegelapan.
Untuk menemukan pengertian akhlaq, kita perlu melakukan dua pendekatan yang dapat kita gunakan dalam mengartikan tentang akhlaq, yaitu pendekatan lughot (linguistik, bahasa) dan istilahi (terminologis).
Allah menciptakan manusia di muka bumi adalah untuk menjadi kholifah atau pemimpin di muka bumi. Tidak terlepas dari fitrahnya ini, Allah SWT menganugrahkan dua potensi penting dalam diri manusia, yaitu akal dan nafsu.
Allah SWT memberikan akal kepada manusia agar mereka mampu dan dapat membedakan mana yang baik dan mana yang benar, dalam bertindak, bertingkah laku, berbuat ataupun bekerja. Sementara nafsu adalah sebuah pemicu bagi tingkat pekerjaan yang dilakukan oleh akal. Sehingga, nafsu ini dapat menjadi nafsu yang baik, yakni nafsu yang dilatih untuk menghindar dari perbuatan-perbuatan yang tercela dan membawa dosa, dan nafsu yang buruk, yakni nafsu yang dilatih untuk melakukan perbuatan-perbuatan dosa dan salah.
Para ahli sufi memiliki pendapat bahwa hawa nafsu dapat menjadi tabir penghalang untuk dapat dekat dengan Allah SWT. Hal yang seperti ini akan terjadi ketika diri seseorang telah dikendalikan oleh hawa nafsu. Hawa nafsu yang seperti ini akan membawa manusia cenderung memuja kenikmatan duniawi. Hingga pada akhirnya bukanlah kenikamtan kehidupan akherat yang dijadikan tujuan utama dalam hidup, melainkan kenikmatan dunia lah dijadikan tujuan utama dalam mencapai keberhasilan hidun
Dalam kitab Ma’rifat Ghubahan Ihsanuddin dinukilkan ungkapan para ahli sufi : Jalan-jalan menuju Allah itu sebanyak bintang-bintang di langit, atau sebanyak bilangan nafas manusia.[1] Salah satu dari jalan itu adalah dengan mengendalikan hawa nafsu. Bila hawa nafsu ini dapat dikendalikan, maka ia tidak akan membawa diri manusia kedalam kesesatan. Para ahli sufi beranggapan bahwa, dengan mengendalikan hawa nafsu berarti manusia tengah dalam upaya pembersihan jiwa yang dapat menuntunnya untuk dekat kepada Allah SWT.
Pada hakekatnya, para kaum sufi telah membuat sebuah sistem yang tersusun secara teratur yang berisi pokok-pokok konsep dan merupakan inti dari ajaran tasawuf. [2] Diantaranya adalah, Takhalli, Tahalli, Tajalli, Munajat, Muroqobah, Muhasabah, Syari’at, Thariqat, dan Ma’rifat yang merupakan tujuan akhir dari tasawuf yakni mengenal Allah dengan sebenar-benarnya.
A. TASAWUF AKHLAQI
Tasawuf Akhlaqi adalah suatu ajaran yang menerangkan sisi moral dari seorang hamba dalam rangka melakukan taqorrub kepada tuhannya, dengan cara mengadakan Riyyadah[3] pembersihan diri dari moral yang tidak baik, karena tuhan tidak menerima siapapun dari hamba-Nya kecuali yang berhati salim (terselamatkan dari penyakit hati).[4]
Kata akhlaq juga bisa kita artikan dari segi isim jamid atau isim ghoirul mustaqyaitu isim yang tidak memiliki akar kata, melainkan kata tersebut memang sudah demikian adanya. Kata akhlaq merupakan jamak dari kata khilqun atau khuluqunyang memiliki arti sama dengan arti akhlaq, kedua kata ini dapat kita temukan pemakaiannya dalam Al-Qur'an, contohnya:
"Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung."
(Q.S. 68. Al-Qalam, A. 4).
Ayat tersebut menggunakan kata khuluq untuk arti berbudi pekerti, kemudian ayat di bawah ini:
"(Agama kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu."
(Q.S. 26. Al-Syu'ara, A. 137).
menggunakan kata akhlaq untuk arti adat kebiasaan. Dengan demikian kataakhlaq atau khuluq jika ditinjau dari sudut lughot berarti muru'ah, perangai, adat kebiasaan, bidu pekerti atau segala sesuatu yang telah menjadi tabi'at.
Pengertian Akhlaq Dari Sudut Pandang Istilahi
Sebagai pendekatan kita mengetahui pengertian akhlaq dari sudut pandang istilahi, saya ajak kita untuk merujuk kepada pendapat para ulama terkemuka, sebagai berikut:
1. Menurut Imam Al-Gazali:
"Akhlaq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan."
2. Menurut Ibnu Maskawaih:
"Akhlaq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan."
3. Menurut Ibrahim Anis:
"Akhlaq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan."
4. Menurut Abdul Karim Zaidan:
"(Akhlaq) adalah nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dalam sorotan dan timbangannya seseorang dapat menilai perbuatannya baik atau buruk, untuk kemudian memilih melakukan atau meninggalkannya."
5. Menurut Drs. H. Yunahar Ilyas, Lc., M.A:
".......akhlaq itu haruslah bersifat konstan, spontan, tidak temporer dan tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan serta dorongan dari luar."
6. Menurut Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A:
"Lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlaq, yaitu:
- Perbuatan akhlaq adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya.
- Perbuatan akhlaq adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran.
- Bahwa perbuatan akhlaq adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar.
- Bahwa perbuatan akhlaq adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara.
- Sejalan dengan ciri yang keempat, perbuatan akhlaq (khusus akhlaq yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji orang atau karena ingin mendapatkan sesuatu pujian."
".......Akhlaq ialah kehendak yang dibiasakan. Artinya bahwa kehendak itu bila membiasakan sesuatu, maka kebiasaan itu dinamakan akhlaq."
8. Menurut Prof. K.H. Farid Ma'ruf
"Kehendak jiwa manusia yang menimbulkan perbuatan dengan mudah karena kebiasaan, tanpa memerlukan pertimbangan pikiran terlebih dahulu."
9. Menurut Dr. M. Abdullah Dirroz
"Akhlaq adalah suatu kekuatan dalam kehendak yang mantap, kekuatan dan kehendak mana berkombinasi membawa kecenderungan pada pemilihan pihak yang benar (dalam hal akhlaq yang baik) atau pihak yang jahat (dalam hal akhlaq yang jahat). Perbuatan-perbuatan manusia dapat dianggap sebagai manifestasi dari akhlaqnya, apabila dipenuhi dua syarat, yaitu:
1. Perbuatan-perbuatan itu dilakukan berulang kali dalam bentuk yang sama, sehingga menjadi kebiasaan.
2. Perbuatan-perbuatan itu dilakukan karena dorongan emosi-emosi jiwanya, bukan karena adanya tekanan-tekanan yang datang dari luar seperti paksaan dari orang lain sehingga menimbulkan ketakutan, atau bujukan dengan harapan-harapan yang indah-indah dan lain sebagainya."
Namun dari kitab Dairatul Ma'arif, secara singkat kita dapat tambahan pengertian akhlaq, yaitu: "sifat-sifat manusia yang terdidik."
Isi dari ajaran Tasawuf Akhlaqi adalah, Takhalli, Tahalli, Tajalli, Munajat, Murroqobah, memperbanyak dzikir dan wirid, mengingat mati, dan tafakkur.
1. Takhalli
Takhalli atau penarikan diri berati menarik diri dari perbuatan-perbuatan dosa yang merusak hati. Definisi lain mengatakan bahwa, Takhalli adalah membersihkan diri sifat-sifat tercela dan juga dari kotoran atau penyakit hati yang merusak.[5] Takhalli juga berarti mengosongkan diri sikap ketergantungan terhadap kelezatan duniawi.[6]
Dari definisi takhali di atas, dapat dinyatakan bahwa takhalli ini dapat dicapai dengan menjauhkan diri dari kemaksiatan, kelezatan atau kemewahan dunia, serta melepaskan diri dari hawa nafsu yang jahat, yang kesemuanya itu adalah penyakit hati yang dapat merusak. Menurut kelompok sufi, maksiat dibagi menjadi dua, yakni maksiat lahir dan maksiat batin.[7] Maksit lahir adalah segala bentuk maksiat yang dilakukan atau dikerjakan oleh anggota badan yang bersifat lahir. Sedangkan maksiat batin adalah berbagai bentuk dan macam maksiat yang dilakukan oleh hati, yang merupakan organ batin manusia.
Pada hakekatnya, maksiat batin ini lebih berbahaya dari pada maksiat lahir. Jenis maksiat ini cenderung tidak tersadari oleh manusia karena jenis maksiat ini adalah jenis maksiat yang tidak terlihat, tidak seperti maksiat lahir yang cenderung sering tersadari dan terlihat. Bahkan maksiat batin dapat menjadi motor bagi seorang manusia untuk melakukan maksiat lahir. Sehingga bila maksiat batin ini belum dibersihkan atau belum dihilangkan, maka maksiat lahir juga tidak dapat dihilangkan.
Kelompok sufi beranggapan bahwa penyakit-penyakti dan kotoran hati yang sangat berbahaya tersebut dapa menjadi hijab[8] untuk dapat dekat dengan tuhan. Sehingga agar mudah menerima pancaran Nur Illahi dan dapat mendekatkan diri dengan tuhan maka hijab tersebut haruslah dihapuskan dan dihilangkan. Yakni, dengan berusaha membersihkan hati dari penyakit-penyakit hati dan kotoran hati yang dapat merusak. Upaya pembersihan hati ini dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
- Menghayati segala bentuk ibadah, agar dapat memahaminya secara hakiki
- Berjuang dan berlatih membebaskan diri dari kekangan hawa nafsu yang jahat dan menggantinya dengan sifat-sifat yang positif.
- Menangkal kebiasaan yang buruk dan mengubahnya dengan kebiasaan yang baik.
- Muhasabah, yakni koreksi terhadap diri sendiri tentang keburukan-keburukan apa saja yang telah dilakukan dan menggantinya dengan kebaikan-kebaikan.
Secara etimologi kata Tahalli berarti berhias. Sehingga Tahalli adalah menghiasi diri dengan sifat-sifat yang terpuji serta mengisi diri dengan perilaku atau perbuatan yang sejalan dengan ketentuan agama baik yang bersifat lahir maupun batin. Definisi lain menerangkan bahwa Tahalli berarti mengisi diri dengan perilaku yang baik dengan taat lahir dan taat batin, setelah dikosongkan dari perilaku maksiat dan tercela.[9] Diterangkan pula bahwa Tahalli adalah menghias diri dengan jalan membiasakan diri dengan sifat dan sikap serta perbuatan yang baik.[10]
Tahalli merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan pada tahap Takhalli.[11] Dengan kata lain, Tahalli adalah tahap yang harus dilakukan setelah tahap pembersihan diri dari sifat-sifat, sikap dan perbuatan yang buruk ataupun tidak terpuji, yakni dengan mengisi hati dan diri yang telah dikosongkan aatu dibersihkan tersebut dengan sifat-sifat, sikap, atau tindakan yang baik dan terpuji. Dalam hal yang harus dibawahi adalah pengisian jiwa dengan hal-hal yang baik setalah jiwa dibersihkan dan dikosongkan dari hal-hal yang buruk bukan berarti hati harus dibersihkan dari hal-hal yang buruk terlebih dahulu, namun ketika jiwa dan hati dibersihkan dari hal-hal yang bersifat kotor, merusak, dan buruk harus lah diiringi dengan membiasakan diri melakukan hal-hal yang bersifat baik dan terpuji. Karena hal-hal yang buruk akan terhapuskan oleh kebaikan.
Pada dasarnya, jiwa manusia dapatlah dilatih, diubah, dikuasai, dan dibentuk sesuai dengan kehendak manusia itu sendiri.[12] Dengan kata lain sikap, atau tindakan yang dicerminkan dalam bentuk perbuatan baik yang bersifat lahir ataupun dapat dilatih, dirubah menjadi sebuah kebiasaan dan dibentuk menjadi sebuah kepribadian. Sehingga, pengisian jiwa dengan hal-hal yang baik itu diawali dengan melatih diri dengan melakukan hal-hal yang baik, sehingga lama kelamaan hal-hal yang baik tersebut akan berubah menjadi kebiasaan, dan apabila secara berkelanjutan dilakukan hal-hal yang baik tersebut akan terbentuk menjadi suatu kebiasaan.
Tahalli juga berarti menghiasi diri dengan sifat-sifat Allah. Yaitu menghiasi diri dengan sifat-sifat yang terpuji. Apa bila jiwa dapat diisi dan dihiasi dengan sifat-sifat yang terpuji, hati tersebut akan menjadi terang dan tenang, sehingga jiwa akan menjadi mudah menerima nur Illahi karena tidak terhijab atau terhalang oleh sifat-sifat yang tercela dan hal-hal yang buruk Hal-hal yang harus dimasukkan, yang meliputi sikap mental dan perbuatan luhur itu adalah seperti taubat, sabar, kefakiran, zuhud[13], tawakal[14], cinta, dan ma’rifah[15].[16]
3. Tajalli
Tajalli adalah tahap yang dapat ditempuh oleh seorang hamba ketika ia sudah mampu melalui tahap Takhalli dah Tahalli. Tajalli adalah lenyapnya atau hilangnnya hijab dari sifat kemanusiaan atau terangnya nur yang selama itu tersembunyi atau fana segala sesuatu selain Allah, ketika nampak wajah Allah.[17]
Tahap Tajalli di gapai oleh seorang hamba ketika mereka telah mampu melewati tahap Takhalli dan Tahalli. Hal ini berarti untuk menempuh tahap Tajalli seorang hamba harus melakukan suatu usaha serta latihan-latihan kejiwaan atau kerohanian, yakni dengan membersihkan dirinya dari penyakit-penyakit jiwa seperti berbagai bentuk perbuatan maksiat dan tercela, kemegahan dan kenikmatan dunia lalu mengisinya dengan perbuatan-perbuatan, sikap, dan sifat-sifat yang terpuji, memperbanyak dzikir, ingat kepada Allah, memperbanyak ibadah dan menghiasi diri dengan amalan-amalan mahmudah yang dapat menghilangkan penyakit jiwa dalam hati atau dir seorang hamba.
Tahap Tajalli tentu saja tidak hanya dapat ditempuh dengan melakukan latihan-latihan kejiwaan yang tersebut di atas, namun latihan-latihan tersebut harus lah dapat ia rubah menjadi sebuah kebiasaan dan membentuknya menjadi sebuah kepribadian. Hal ini berarti, untuk menempuh jalan kepada Allah dan membuka tabir yang menghijab manusia dengan Allah, seseorang harus terus melakukan hal-hal yang dapat terus mengingatkannya kepada Allah, seperti banyak berdzikir dan semacamnya juga harus mampu menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang dapat membuatnya lupa dengan Allah seperti halnya maksiat dan semacamnya.
Dapat pula diumpamakan pula bahwa, seorang yang mencari tuhan adalah seperti orang yang bercermin di depan sebuah kaca besar yang kotor. Kotoran dalam cermin itu diibaratkan sebahai sebuah hijab yang menghalanginya untuk melihat bayangannya dengan jelas, dan bayangan itu diibaratkan sebagai tuhan. Untuk dapat melihat bayangannya dengan jelas seseorang tidak perlu memindahkan cerminnya kekanan atau kekiri atau membeli cermin yang baru. Melainkan, seseorang tersebut hanya harus membersihkan kotoran tersebut untuk dapat melihat bayangannya dengan jelas. Dengan demikian, jelaslah bahwa untuk dapat membuka hijab antara manusia dengan Allah seseorang harus mampu membersihkan kotoran-kotaran yang terdapat dalam jiwanya dan menggantinya dengan perbuatan, sifat dan sikap yang terpuji dan baik agar hatinya tidak lagi tercemari dan terkotori oleh penyakit-penyakit jiwa yang dapat menjadi hijab antara seorang hamba dengan Allah.
4. Munajat
Munajat berarti melaporkan segala aktivitas yang dilakukan kehadirat Allah SWT.[18] Maksudnya adalah dalam munajat seseorang mengeluh dan mengadu kepada Allah tentang kehidupan yang seorang hamba alami dengan untaian-untaian kalimat yang indah diiringi dengan pujian-pujian kebesaran nama Allah.
Munajat biasanya dilakukan dalam suasanya yang hening teriring dengan deraian air mata dan ungkapan hati yang begitu dalam. Hal ini adalah bentuk dari sebuah do’a yang diungkapkan dengan rasa penuh keridhoan untuk bertemu dengan Allah SWT.
Menurut kaum sufi, tangis air mata itu menjadi salah satu amal adabiyah atau , suatu riyadhah bagi orang sufi ketika bermunajat kepada Allah.[19] Para kaum sufi pun berpandangan bahwa tetesan-tetesan air mata tersebut merupakan suatu tanda penyeselan diri atas kesalahan-kesalahan yang tidak sesuai dengan kehendak Allah. Sehingga, bermunajat dengan do’a dan penyesalan yang begitu mendalam atas semua kesalahan yang diiringi dengan tetesan-tetesan air mata merupakan salah satu cara untuk memperdalam rasa ketuhanan dan mendekatkan diri kepada Allah.
5. Muraqabah
Muraqabah menurut arti bahasa berasal dari kata raqib yang berarti penjaga atau pengawal. Muraqabah menurut kalangan sufi mengandung pengertian adanya kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah dalam keadaan diawasi-Nya.[20] Muroqobah juga dapat diartikan merasakan kesertaan Allah, merasakan keagungan Allah Azza wa Jalla di setiap waktu dan keadaan serta merasakan kebersamaan-Nya di kala sepi atau pun ramai.[21]
Sikap muroqobah ini akan menghadirkan kesadaran pada diri dan jiwa seseorang bahwa ia selalu diawasi dan dilihat oleh Allah setiap waktu dan dalam setiap kondisi apapun. Sehingga dengan adanya kesadaran ini seseorang akan meneliti apa-apa yang mereka telah lakukan dalam kehidupan sehari-hari, apakah ini sudah sesuai dengan kehendak Allah ataukan malah menyimpang dari apa yang di tentukan-Nya.
Disamping itu ada satu istilah yang disebut dengan sikap mental muqorobah, yakni sikap selalu memandang Allah dengan mata hati (Vision of Heart). Sebaliknya, ia pun juga menyadari bahwa Allah juga melihatnya, mengawasinya, dan memandangnya dengan sangat penuh perhatian.
Ketika muroqobah dilakukan untuk menghadirkan kemantapan hati dan ketenangan batin seseorang dalam praktik mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini dikarenakan, bila sudah tertanam kesadaran bahwa seseorang selalu melihat Allah dengan hatinya dan ia sadar bahwa Allah selalu memandangnya dengan penuh perhatian maka seseorang tersebut akan semakin mantab untuk mengamalkan dan melakukan apa-apa yang diridloi oleh Allah sehingga batin nya akan semakin terbuka untuk dapat mendekatkan dirinya pada Allah.
Sikap mental muroqobah ini dapat digambarkan dalam sebuah cerita sufi, yakni ketika seorang muslim yang berjualan baju keliling diajak bersetubuh oleh seorang wanita biarawati nasrani. Ketika itu laki-laki muslim itu tengah menjajakan barang dagangannya kerumah biarawati tersebut. Kebetulan saat itu hanya ada mereka berdua, dan tak ada orang lain disana. Ketika itu pula seorang biarawati itu mengajak laki-laki muslim itu untuk bersetubuh. Dan laki-laki itupun terpengaruh oleh godaan setan, dia berkata “ia saya mau”. Namun ketika laki-laki muslim itu dan biarawati itu hampir melakukan persetubuhan, tiba-tiba tersadarlah dalam hati laki-laki tersebut, jika Allah tak pernah tidur dan selalu mengawasinya dengan penuh perhatian. Sat itu pula laki-laki muslim itu berkata “saya tak bisa melakukannya, saya takut dengan Allah karna dia selalu mengawasi saya”. Hingga akhirnya mereka tidak jadi bersetubuh dan laki-laki muslim itu meninggalkan rumah itu.
6. Muhasabah
Muhasabah seringkali diartikan dengan memikirkan, memperhatikan, dan memperhitungkan amal dari apa-apa yang ia sudah lakukan dan apa-apa yang ia akan lakukan. Muhasabah juga didefinisikan dengan meyakini bahwa Allah mengetahui segala fikiran, perbuatan, dan rahasia dalam hati yang membuat seseotang menjadi hormat, takut, dan tunduk kepada Allah.[22]
Di dalam muhasabah, seseorang terus-menerus melakukan analisis terhadap diri dan jiwa beserta sikap dan keadaannya yang selalau berubah-ubah. Orang tersebut menghisab dirinya sendiri tanpa menunggu hingga hari hari kebangkitan. Dalam muhasabah hal-hal yang perlu dipaerhatikan adalah menghisab tentang kebajikan dan kewajiban yang sudah dilaksanakan dan seberapa banyak maksiat yang sudah dilaksanakan. Apabila kemaksiatan lebih banyak dilakukan, maka orang tersebut harus menutupnya dengan kebaikan-kebaikan diringi dengan taubatan nasuha.
Dengan demikian sikap mental muhasabah dalah salah satu sikap mental yang harus ditanamkan dalam diri dan jiwa agar dapat meningkatkan kualitas keimanan kita terhadap Allah SWT. Sehingga sikap mental ini akan dapat meningkatkan kualitas ibadah kita kepada Allah SWT, dan membukakan jalan untuk menuju kepada Allah SWT.
B. TASAWUF ‘AMALI
Tasawuf ‘Amali adalah tasawuf yang membahas tentang bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah.[23] Terdapat beberapa istilah praktis dalam Tasawuf ‘Amali, yakni syari’at, Thariqat, dan Ma’rifat.
1. Syari’at dan Thariqat
Secara umum syaria’t adalah segala ketentuan agama yang sudah ditetapkan oleh Allah untuk hambanya. Bagi orang-orang sufi, syari’at itu ialah amal ibadah lahir dan urusan muamalat mengenai hubungan antara manusia dengan manusia.[24] Definisi lain mengatakan bahwa Syari’at adalah kualitas amal lahir –formal yang ditetapkan dalam ajaran agama melalui Al-qur’an dan sunnah.[25] Sebab itu, dapat dikatakan bahwa syari’at adalah ilmu ibadah yang cenderung hanya menyentuh aspek lahir manusia dan tidak menyentuh aspek batin manusia.
Ath-Thusi dalam Al-Luma’ mengatakan bahwa syari’at adalah suatu ilmu yang mengandung dua pengertian, yaitu riwayah dan dirayah yang berisikan amalan-amalan lahir dan batin.[26] Selanjutnya yang perlu dipahami adalah bahwa apabila syari’at di artikan sebagai ilmu yang riwayah adalah segala macam hukum teoritis yang termaktub dan terurai dalam ilmu fiqih yakni ilmu-ilmu teoritis yang bersifat lahiriah. Sebaliknya, apabila syari’at diartikan sebagai ilmu yang dirayah maka makna dari syari’at itu adalah makna batiniah dari ilmu lahiriah atau dapat disebut dengan makna hakikat dari ilmu fiqih itu sendiri. Sehingga, bila dikaitkan dengan para fuqaha dan sufi yang memiliki perbedaan pandangan, syari’at yang bersifat riwayah adalah macam ilmu yang disebut dengan fiqih, yakni ilmu yang menyentuh aspek lahiriah saja. Sedangkan syari’at yang berkonotasi dirayah adalah ilmu yang sekarang ini dikenal dengan ilmu tasawuf yakni ilmu yang cenderung menyentuh aspek batiniah.
Mengenai syari’at ini para ahli sufi lebih menekankan pada aspek hakekat atau makna batiniah dari dari ilmu lahiriah (syari’at) ketimbang para ahli fiqih yang hanya menekankan pada aspek lahiriyah saja. Memang pada dasarnya syari’at adalah simbol hukum yang mengatur kehidupan agama yang bersifat lahiriyah. Namun menurut para sufi hal ini tidak berkaitan dengan kenyataan batin. Kenyataan batin dan iman itu diluar jangkauan dari syari’at (ilmu yang bersifat lahiriah) dan hal ini hanya dapat dilihat dan dimengerti dengan jalan sufi. Menurut keyakinan sufi, seseorang akan mencapai hakikat suatu ibadah apabila mereka telah menempuh jalan yang menuju pada hakikat tersebut, yakni thariqat.
Thariqat menurut istilah tasawuf adalah jalan yang harus ditempuh oleh seorang sufi dalam mencapai tujuan berada sedekat mungkin dengan tuhan.[27] Thariqat adalah jalan yang ditempuh para sufi dan digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syari’at, sebab jalan utama disebut syar’, sedangkan anak jalan disebut dengan thariq.[28] Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa thariqat adalah cabang dari syari’at yang merupakan pangkal dari suatu ibadah. Hal ini dapat pula digambarkan bahwa tidak mungkin adanya suatu ibadah yang dilakukan tanpa adanya perintah yang mengikat. Sehingga untuk menempuh anak jalan yang menuntun kepada hakikat tujuan ibadah harus mengerti terlebih dahulu akar atau pangkal dari jalan tersebut, yaitu syari’at (landasan hukum). Sehingga dapat digambarkan bahwa jalan-jalan tersebut terbagi kedalam tiga batasan antara manusia dan teologis, yakni syari’at, thariqat dan hakikat[29].
Dalam hal ini, terdapat pepatah sufi yang mengatakan “untuk mencapai haqiqah (inti) anda harus mampu menghancurkan kulit”.[30] Yakni makna essensial melebihi makna-makna yang bersifat eksotoris dan tidak dapat direduksikan dalam bentuk luaran yang bersifat eksotoris.
2. Ma’rifat
Ma’rifat berasal dari kata ‘arafa, yu’rifu, ‘irfan, ma’rifah artinya adalah pengetahuan, pengalaman dan pengetahuan illahi. Ma’rifat adalah kumpulan ilmu pengetahuan, perasaan, pengalaman, amal dan ibadah kepada Allah SWT.[31] Dalam istilah tasawuf ma’rifat adalah pengetahuan yang sangat jelas dan pasti tentang tuhan yang diperoleh melalui sanubari.
Al-Ghazali secara terperinci mengemukakan pengertian ma’rifat kedalam hal-hal berikut:
Ma’rifat adalah mengenal rahasia-rahasia Allah dan aturan-aturan-Nya yang melingkupi seluruh yang ada;
Seseorang yang sudah sampai pada ma’rifat berada dekat dengan Allah, bahkan ia dapat memandang wajahnya;
Ma’rifat datang sebelum mahabbah.[32]
Sebagian besar para sufi mengatakan bahwa ma’rifat adalah puncak dari tasawuf, yakni mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Oleh karena itu, para sufi berkeyakinan bahwa setiap orang yang menempuh jalan tasawuf dan mengamalkannya dengan sungguh-sungguh ia akan sampai pada akhir tujuan tasawuf itu sendiri yaitu mengenal Allah dengan sebenar-benarnya, yakni ma’rifat.
Para sufi beranggapan bahwa ma’rifat adalah ilmu laduni, yakni ilmu yang di diperoleh dari anugerah tuhan yang tidak dapat didapat lewat usaha manusia.[33] Hal ini berarti bahwa ilmu ini diberikan oleh tuhan kepada hambanya yang diistimewakan atau dipilih melalui ketakwaan, kesalehan dan sufi[34]. Untuk mendapatkan ma’rifat seorang sufi harus menyucikan jiwa dari perbuatan-perbuatan yang kotor dan memperbaiki diri dengan sebaik-baiknya serta melakukan pendakian tingkatan-tingkatan rohani yang disebut dengan maoqamat[35] yang mana tujuan akhir dari pendakian tersebut adalah ma’rifat yakni mengenal Allah dengan sebenar-benarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Totok Jumantoro, M.A dan Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag. 2005. Kamus Ilmu Tasawuf. Wonosobo: Penerbit AMZAH.
Drs. Asmaran As., M.A. 1996. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: Rajawali Pers.
http://www.kawulagusti.blogspot.com/…/isi-pokok-ajaran-tasawuf.html
http://www.meetabied.wordpress.com/2010/02/20/ilmu-tasawuf/
http://www.ratih1727.multiply.com/journal/item/171.html
Mukhtar Hadi, M.Si. 2009. Memahami Ilmu Tasawuf “Sebuah Pengantar Ilmu Tasawuf. Yogyakarta: Aura Media.
Simuh. 1997. Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
[1] Simuh. 1997. Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Hal. 40-41
[2] Mukhtar Hadi, M.Si. 2009. Memahami Ilmu Tasawuf “Sebuah Pengantar Ilmu Tasawuf”. Yigyakarta : Aura Media. Hal 65.-
[3] Riyyadah diartikan sebagai latihan-latihan mistik, latihan kejiwaan dengan upaya membiasakan diri agar tidak melakukan hal-hal yang mengotori jiwanya seperti perbuatan-perbuatan yang tercela baik yang batin maupun yang lahir yang merupakan penyakit hati yang sangat berbahaya.
[4] Drs. Totok Jumantoro, M.A dan Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag. 2005. Kamus Ilmu Tasawuf. Wonosobo: Penerbit AMZAH. Hal. 263
[5] Ibid. Hal.233.
[6] Ibid, Hal 233.
[7] Ibid, Hal.233.
[8] Hijab menurut bahassa artinya adalah kerudung, tirai, atau tabir. Pengertian Hijab menurut istilah adalah segala sesuatu dari diri manusia yang menyembunyikan dan menutupi Allah. Hijab juga seringkali dipahami sebagai dinding penghalang yang membuat manusia tidak bisa berhubungan dengan tuhan.
[9] Mukhtar Hadi, M.Si. Op.cit Hal. 67
[10] Drs. Totok Jumantoro, M.A dan Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag. Op.cit. Hal. 227
[11] Ibid, Hal 227
[12] Ibid, Hal 227
[13] Zuhud adalah mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah. Mengosongkan bukan berarti benar-benar tidak menginginkan dunia, melainkan lebih mementingkan kehidupan akherat dibandingkan dunia.
[14] Tawakal biasa diartikan sebagai sikap bersandar dan mempercayakan diri kepada Allah. Tawakal tidak berarti beserah diri tanpa ada usaha, melainkan mempercayakan diri atau beserah diri kepada Allah harus diiringi dengan usaha dan perbuatan.
[15] Ma’rifah itu sebanarnya adalaha Allah menyinari hati seorang hamba dengan cahaya ma’rifat yang murni, sehingga ma’rifah bukanlah suatu yang dapat dicapai dengan usaha manusia, melainkan dengan pilihan Allah kepada hambanya yang diistimewakan. Sehingga seorang hamba, benar-benar seperti bisa mengenal Allah.
[16] Muhtar hadi, M.Si. Loc.cit. Hal.68
[17] Drs. Totok Jumantoro, M.A dan Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag. Loc.cit. Hal. 229
[18] Mukhtar Hadi, M.Si. Op.cit. Hal. 70
[19] Mukhtar Hadi, M.Si. Op.cit. Hal. 71
[20] Drs. Totok Jumantoro, M.A dan Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag. Loc.cit. Hal. 150
[21] Dikutip dari: http://ratih1727.multiply.com/journal/item/171, Tanggal 22 Oktober 2010
[22] Drs. Totok Jumantoro, M.A dan Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag. Loc.cit. Hal. 147
[23] Drs. Totok Jumantoro, M.A dan Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag. Loc.cit. Hal. 263
[24] Mukhtar Hadi, M.Si. Loc.cit. Hal. 74
[25] Ibid, Hal 217
[26] Ibid, Hal 217
[27] Drs. Totok Jumantoro, M.A dan Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag. Loc.cit. Hal. 239
[28] Mukhtar Hadi, M.Si. Loc.cit. Hal. 75
[29] Hakikat atau Haqiqah adalah kebenaran yang bersifat essensial. Makna kaqiqah menunjukkan kebenarana esoteris yang merupakan batas-batas dari transedensi manusia dan teologis. Haqiqah merupakan unsur ketiga setelah syari’ah (hukum) yang merupakan kenyataan eksoteris, Thariqat (jalan) sebagai tahapan esoterisme, dan yang ketiga adalah haqiqah, yakni kebenaran yang essensial.
[30] Loc.cit. Hal. 71
[31] Mukhtar Hadi, M.Si. Loc.cit. Hal. 76
[32] Ibid, Hal 141
[33] Loc.cit Hal. 77
[34] Nama sufi berlaku pada pria atau wanita yang telah menyucikan hatinya dangan dzikrullah, menempuh jalan kembali kepada Allah, dan sampai pada pengetahuan hakiki (Ma’rifat).
[35] Maqomat secara bahasa berate kedudukan, secara istilah adalah kedudukan manusia dihadapan Allah yang disebabkan oleh ibadahnya, mujahadatnya, riyadhahnya, dan pencurahan hatinya pada Allah.
Sebagian besar para sufi mengatakan bahwa ma’rifat adalah puncak dari tasawuf, yakni mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Oleh karena itu, para sufi berkeyakinan bahwa setiap orang yang menempuh jalan tasawuf dan mengamalkannya dengan sungguh-sungguh ia akan sampai pada akhir tujuan tasawuf itu sendiri yaitu mengenal Allah dengan sebenar-benarnya, yakni ma’rifat.
Para sufi beranggapan bahwa ma’rifat adalah ilmu laduni, yakni ilmu yang di diperoleh dari anugerah tuhan yang tidak dapat didapat lewat usaha manusia.[33] Hal ini berarti bahwa ilmu ini diberikan oleh tuhan kepada hambanya yang diistimewakan atau dipilih melalui ketakwaan, kesalehan dan sufi[34]. Untuk mendapatkan ma’rifat seorang sufi harus menyucikan jiwa dari perbuatan-perbuatan yang kotor dan memperbaiki diri dengan sebaik-baiknya serta melakukan pendakian tingkatan-tingkatan rohani yang disebut dengan maoqamat[35] yang mana tujuan akhir dari pendakian tersebut adalah ma’rifat yakni mengenal Allah dengan sebenar-benarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Totok Jumantoro, M.A dan Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag. 2005. Kamus Ilmu Tasawuf. Wonosobo: Penerbit AMZAH.
Drs. Asmaran As., M.A. 1996. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: Rajawali Pers.
http://www.kawulagusti.blogspot.com/…/isi-pokok-ajaran-tasawuf.html
http://www.meetabied.wordpress.com/2010/02/20/ilmu-tasawuf/
http://www.ratih1727.multiply.com/journal/item/171.html
Mukhtar Hadi, M.Si. 2009. Memahami Ilmu Tasawuf “Sebuah Pengantar Ilmu Tasawuf. Yogyakarta: Aura Media.
Simuh. 1997. Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
[1] Simuh. 1997. Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Hal. 40-41
[2] Mukhtar Hadi, M.Si. 2009. Memahami Ilmu Tasawuf “Sebuah Pengantar Ilmu Tasawuf”. Yigyakarta : Aura Media. Hal 65.-
[3] Riyyadah diartikan sebagai latihan-latihan mistik, latihan kejiwaan dengan upaya membiasakan diri agar tidak melakukan hal-hal yang mengotori jiwanya seperti perbuatan-perbuatan yang tercela baik yang batin maupun yang lahir yang merupakan penyakit hati yang sangat berbahaya.
[4] Drs. Totok Jumantoro, M.A dan Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag. 2005. Kamus Ilmu Tasawuf. Wonosobo: Penerbit AMZAH. Hal. 263
[5] Ibid. Hal.233.
[6] Ibid, Hal 233.
[7] Ibid, Hal.233.
[8] Hijab menurut bahassa artinya adalah kerudung, tirai, atau tabir. Pengertian Hijab menurut istilah adalah segala sesuatu dari diri manusia yang menyembunyikan dan menutupi Allah. Hijab juga seringkali dipahami sebagai dinding penghalang yang membuat manusia tidak bisa berhubungan dengan tuhan.
[9] Mukhtar Hadi, M.Si. Op.cit Hal. 67
[10] Drs. Totok Jumantoro, M.A dan Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag. Op.cit. Hal. 227
[11] Ibid, Hal 227
[12] Ibid, Hal 227
[13] Zuhud adalah mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah. Mengosongkan bukan berarti benar-benar tidak menginginkan dunia, melainkan lebih mementingkan kehidupan akherat dibandingkan dunia.
[14] Tawakal biasa diartikan sebagai sikap bersandar dan mempercayakan diri kepada Allah. Tawakal tidak berarti beserah diri tanpa ada usaha, melainkan mempercayakan diri atau beserah diri kepada Allah harus diiringi dengan usaha dan perbuatan.
[15] Ma’rifah itu sebanarnya adalaha Allah menyinari hati seorang hamba dengan cahaya ma’rifat yang murni, sehingga ma’rifah bukanlah suatu yang dapat dicapai dengan usaha manusia, melainkan dengan pilihan Allah kepada hambanya yang diistimewakan. Sehingga seorang hamba, benar-benar seperti bisa mengenal Allah.
[16] Muhtar hadi, M.Si. Loc.cit. Hal.68
[17] Drs. Totok Jumantoro, M.A dan Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag. Loc.cit. Hal. 229
[18] Mukhtar Hadi, M.Si. Op.cit. Hal. 70
[19] Mukhtar Hadi, M.Si. Op.cit. Hal. 71
[20] Drs. Totok Jumantoro, M.A dan Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag. Loc.cit. Hal. 150
[21] Dikutip dari: http://ratih1727.multiply.com/journal/item/171, Tanggal 22 Oktober 2010
[22] Drs. Totok Jumantoro, M.A dan Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag. Loc.cit. Hal. 147
[23] Drs. Totok Jumantoro, M.A dan Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag. Loc.cit. Hal. 263
[24] Mukhtar Hadi, M.Si. Loc.cit. Hal. 74
[25] Ibid, Hal 217
[26] Ibid, Hal 217
[27] Drs. Totok Jumantoro, M.A dan Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag. Loc.cit. Hal. 239
[28] Mukhtar Hadi, M.Si. Loc.cit. Hal. 75
[29] Hakikat atau Haqiqah adalah kebenaran yang bersifat essensial. Makna kaqiqah menunjukkan kebenarana esoteris yang merupakan batas-batas dari transedensi manusia dan teologis. Haqiqah merupakan unsur ketiga setelah syari’ah (hukum) yang merupakan kenyataan eksoteris, Thariqat (jalan) sebagai tahapan esoterisme, dan yang ketiga adalah haqiqah, yakni kebenaran yang essensial.
[30] Loc.cit. Hal. 71
[31] Mukhtar Hadi, M.Si. Loc.cit. Hal. 76
[32] Ibid, Hal 141
[33] Loc.cit Hal. 77
[34] Nama sufi berlaku pada pria atau wanita yang telah menyucikan hatinya dangan dzikrullah, menempuh jalan kembali kepada Allah, dan sampai pada pengetahuan hakiki (Ma’rifat).
[35] Maqomat secara bahasa berate kedudukan, secara istilah adalah kedudukan manusia dihadapan Allah yang disebabkan oleh ibadahnya, mujahadatnya, riyadhahnya, dan pencurahan hatinya pada Allah.