Batang yang Menyejarah (2)


Pada tulisan pertama saya mengemukakan 3 hal yang membuat Kabupaten Batang menyejarah (mempunyai nilai historis dalam peta sejarah nasional). Pertama faktor situs arca Ganesha di Desa Silurah, Kec. Wonotunggal, kedua factor situs Pantai Celong di Desa Mangunsari, Kec. Banyuputih, dan ketiga factor situs Alas Roban yang meliputi wilayah Kecamatan Tulis, Subah, Banyuputih, dan Gringsing.
Faktor-faktor berikutnya yang menjadikan Kabupaten Batang menyejarah adalah; (4) Situs Sojomerto. Terletak di Desa Sojomerto, Kec. Reban (Kab. Batang). Di situs ini ditemukan arca dan bangunan prasasti bertahun 700-an Masehi diperkirakan pada masa Kerajaan Mataram Lama (Hindu) wangsa Sanjaya. Situs ini menunjukkan bahwa di daerah tersebut merupakan wilayah kekuasaan raja-raja Mataram Lama yang berpusat di daerah Kedu sekarang. Penempatan sebuah prasasti di suatu tempat bukan tanpa alasan. Alasan pertama sebagai penanda bahwa tempat tersebut merupakan bagian dari kekuasaan wilayah tertentu (dalam hal ini Mataram Lama). Alasan kedua, diperkirakan di daerah tersebut ditempatkan seorang pejabat pemerintahan (Mataram Lama) yang bertugas semacam wakil (bupati) pemerintahan yang berkuasa. Alasan ketiga, dimungkinkan daerah Sojomerto dahulunya merupakan sebuah tanah perdikan (bebas pajak) karena adanya seseorang yang sangat berjasa kepada Raja yang berkuasa.
(5) Puteri Batang. Puteri Batang adalah gelar bagi seorang puteri anak Bupati Batang waktu itu (Kanjeng Raden Tumenggung Upasanta), yang diambil sebagai permaisuri Sultan Agung Hanyakrakusuma Mataram Baru (Islam). Dari Puteri Batang lahir putera pertama Sultan Agung bernama Raden Mas Sayidin yang kelak menjadi Adipati Anom Mataram, yang kemudian setelah Ayahandanya wafat, diangkat menjadi sultan Mataram dengan gelar Kanjeng Susuhunan Amangkurat Agung (I) dan berkedudukan di Istana Plered. Dengan demikian Puteri Batang menjadi Ibu Suri Sunan Amangkurat dan kelak ikut menurunkan raja-raja Mataram sesudahnya.
(6) Kiyai Haji Muhammad Rifai. Atau yang dikenal sebagai Kiyai Rifai saja. Hidup pada tahun 1700-an. Ada sumber yang mengatakan beliau berasal dari Jawa Timur, namun ada juga yang mengatakan beliau berasal dari Jawa Tengah (sekitar Kendal atau Semarang). Sejak muda beliau sudah merantau (berguru kepada para ulama) dan akhirnya menetap di Desa Kalisalak, Kecamatan Limpung. Disini beliau mengembangkan pemikiran dan para santrinya menamakan dirinya “Kaum Rifaiyah.” Beliau termasuk ulama yang modern (bahkan untuk ukuran era sekarang) dalam memahami isi Al-Quran. Kitab terjemahan Al-Quran beliau (dalam Bahasa Jawa) yang terkenal diberi judul “Tarajumah”, sebagian orang Jawa mengejanya “Trajumas.” Isi kitab ini sungguh luar biasa sehingga pemerintah kolonial Belanda merasa takut apabila sampai umat Islam di tanah jajahan mengetahuinya. Maka untuk mencegah umat Islam mengetahui isi kitab Tarajumah dan mengamalkan isinya, pemerintah mengeluarkan larangan keras agar umat Islam tidak membaca Kitab Tarajumah apalagi sampai mengamalkannya. Kiyai sangat anti-pemerintah kolonial dan mendorong umat Islam untuk melawan Belanda. Karena pemikiran dan usahanya melawan Belanda, pemerintah Republik Indonesia sekarang ini menganugerahinya sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
(7) Situs Kedung Sigowok. Situs ini terletak di kampung Kepuh, wilayah Kelurahan Proyonanggan Tengah. Persisnya di sekitar Sungai Sambong (Lojahan) yang berhulu di lereng utara Pegunungan Dieng (wilayah Kec. Blado) dan mengalir membelah kota Batang, bermuara di antara TPI Klidang Lor dan Pantai Sigandu. Situs ini merupakan bagian dari sejarah hidup Jaka Bahu (kelak menjadi Raden Tumenggung Bahu Reksa), orang kepercayan Sultan Agung Mataram pada saat menggempur Kompeni di Batavia. Sewaktu muda Raden Tumenggung Bahu Reksa bernama Jaka Bahu, anak Ki Ageng Cempaluk (Kesesi, Kab. Pekalongan) dan banyak menghabiskan masa hidupnya di Batang (Watang). Wilayah Pekalongan dan Batang belum ada pemerintahan masih berupa hutan belantara. Batang ke timur hingga Gringsing berupa Alas Roban, Pekalongan ke barat berupa Alas Gambiran. Baik Alas Gambiran maupun Alas Roban merupakan jalan akses darat Batavia - Mataram yang ramai dilalui para pedagang dan dinas pemerintahan. Karena masih berupa hutan maka banyak begal, rampok, kecu berdiam di situ mengganggu/mengacau para pelintas. Sultan Agung menugaskan Jaka Bahu untuk membuka kawasan hutan itu yang nantinya menjadi Kadipaten Batang dan Pekalongan. Dalam cerita babad dikisahkan bahwa perjuangan Jaka Bahu dan pasukan pengiringnya sampai akhirnya bertemu dengan manusia siluman bernama Drubiksa dan adiknya yang cantik jelita bernama Drubiksawati di Kedung Sigowok. Jaka Bahu berhasil memenangkan pertarungan sehingga nantinya keinginannya untuk mengabdi sebagai prajurit Mataram pun diterima dengan senang hati oleh Sultan. Sugito H S