Terkejut luar biasa dengan sebuah penjelasan pendek tentang suku Asmat yang tertempel di dinding dekat pintu masuk Museum Asmat di TMII ini.
Lha siapa yang tidak kaget, plus rasa gembira yang luar biasa. Gembira akhirnya saya mendapatkan referensi lain yang lebih orisinil dan asli sesuai apa adanya tentang suku Asmat di Papua ini. Bukan informasi standar ala wikipedia atau kebanyakan informasi yang beredar di buku atau media massa lainnya.
Harap maklum, sudah terlalu lama bangsa Indonesia ini di kerdilkan. Bertahun-tahun kebesaran masa lampau Nusantara disembunyikan. Jikalau mendadak muncul bukti-bukti kejayaan ini, data dibelokkan persepsinya atau malah sekalian dikaburkan.
Coba cek pandangan bangsa lain tentang Indonesia sekarang ini. Pasti pandangannya ya begitu-begitu saja, dari tubuhnya yang mungil, berkulit gelap yang diidentikan dengan kotor, masyarakatnya yang primitif dan bertelanjang dada kemana-mana dan hal-hal yang negatif lainnya. Semua ini tujuannya sederhana saja—ingin membuat bangsa ini tidak percaya diri dengan kemampuannya.
Jika sudah tidak percaya diri, tentu mudah sekali menjadikan bangsa ini menjadi bangsa terjajah. Baik terjajah secara ideologi, politik, budaya maupun ekonomi. Boro-boro negosiasi—untuk berdehem saja jadi sungkan dihadapan mereka.
Dan di museum Asmat TMII ini, akhirnya saya bisa menemukan salah satu bukti kesengajaan mereka mengkerdilkan bangsa Indonesia ini. Digambarkannya suku Asmat sebagai suku primitif dan kuno. Lebih parahnya—dianggap suku kanibal, pemangsa sesama manusia.
Padahal buktinya apa? Apa hanya karena ada ada foto suku Asmat tidur beralaskan kepala tengkorak manusia? Lha apa bedanya dengan kita yang mungkin kerja atau tinggal di perumahan bekas kuburan atau pemakaman?
Informasi kanibalisme ini pun setelah aku coba telusuri, sungguh mengagetkan. Informasi ini hanya berdasarkan pada kata ‘konon’ dan ‘katanya’ saja. Konon dan katanya dari pendapat suku lainnya. Lebih menyesakkan lagi, cap kanibal ini di perkuat denga kejadian hilangnya satu anggota keluarga Rockefeller– salah satu keluarga terkaya di dunia. Keluarga yang mensponsori dan mendonasikan keuangannya untuk pendirian lembaga terbesar di dunia bernama PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa).
Michael Clark Rockefelle yang melakukan ekpedisi di Papua sekitar akhir tahun 1961 memang hilang, tapi apakah memang betul karena di kanibal suku Asmat? Jangan-jangan hanya hilang karena dicaplok buaya atau diterkam harimau. Atau jangan-jangan malah dibunuh pemandunya yang dari belanda itu hanya gara-gara ongkos hantarnya tidak cocok?
Kalaulah memang hendak dijadikan ‘bahan makanan’, kenapa mesti berulang kali ia ke pedalaman Papua sambil wira-wiri membawa ukiran khas suku Asmat? Belum lagi, banyaknya foto mas Michael ini yang asyik bermain kamera dan dikeliling wajah orang Asmat yang tampak ramah dan tersenyum lepas?
Nah, berita hilangnya ini satu sisi memang mengangkat nama Papua dan Asmat di seluruh dunia. Namun jika dikaitkan dan menjadi cap kanibal tentu merugikan dan berlebihan. Kadang saya jadi gemas dan pengen diadakan penelusuran sejarah yang sangat menyesatkan ini oleh pihak-pihak yang netral dan kompeten.
Sedangkan kita tahu, kasus-kasus kanibalisme di dunia dan di eropa terjadi karena pelakunya menderita penyakit kejiwaan. Sarap tingkat akut. Dan mungkinkah manusia-manusia dengan kejeniusan seni, seni mengukir, ukiran tanpa sketsa namun hasilnya luar biasa? Yang menjadi koleksi hampir semua museum dan rumah seni dunia? Itu disebut sakit jiwa? Oh no, tidak saudaraku sebangsa dan setanah air. Tidaaaaak!
Oke, jika memang masih dianggap suku Asmat primitif hanya gara-gara memakai koteka—yuk kita lihat makna dan filosofi kehidupan suku Asmat yang tertempel di museum Asmat TMII ini. Disana dijelaskan bahwa:
“Orang Asmat sangat menghormati pohon. Bagi mereka, pohon adalah kehidupan. Mereka mengangap dirinya pohon dan sebaliknya, pohon adalah diri mereka. Mereka mengibaratkan akar pohon itu sebagai kaki, batang sebagai badan, ranting sebagai tangan dan buah adalah kepalanya. Itulah alasan mengapa orang Asmat menyebut dirinya sebagai as-asmat yang berarti manusia kayu atau manusia pohon atau asmat-ow, yang berarti manusia sejati.”
Hmm, tunggu. Ini sangat penting dan essensial. Hal yang sangat filosofis dan bukan main-main. Hal yang menyangkut ‘kelas’ manusia dimata Tuhannya. Manusia sejati. Dimana penjelasan tambahannya tertulis:
“Kehidupan orang asmat tidak dapat dipisahkan dengan alam sekitarnya. Mereka meyakini sejatinya manusia itu harus bersatu dengan alam. Mereka pun menyebut dirinya sebagai ‘ow Kanak Anakat’ yang artinya “Akulah Manusia Sejati”…”
Sungguh, saya sempat terdiam lama didepan penjelasan ini. Mendadak teringat Plato yang mengatakan serupa, tentang fungsi akal budi untuk menyelaraskan dengan alam dan menuju ke Sang Baik (Tuhan). Filosofi TAO juga berujung hal yang sama, bahkan filosofi ‘menyatu dengan alam semesta’ dalam ajaran Tao adalah tujuan utama manusia hidup dan menjadi sempurna sebelum bertemu Tuhannya.
Kita juga bisa melihat filosofi menyatu dengan alam ini pun menjadi filosofi utama Bushido (jalan pedang/ksatria) para Samurai (ksatria Jepang). Bagi mereka, ketika mereka sudah ‘menyatu dengan alam’ maka ia akan mencapai tingkat tertinggi dalam ilmu dan jajaran para Samurai.
Tak heran jika dahulu rakyat Jepang sangat menghindari pembuatan jalan berkelok kelok dan lebih menyukai pembuatan tunnel (terowongan) untuk jalur kereta/transportasi. Mereka khawatir, pembangunan yang menyakiti pohon dengan menebangnya akan berarti menentang alam. Pilihan bijak dan terbukti sukses membawa Jepang sebagai salah satu negara dengan sistem transportasi terbaik di dunia.
Nah, bagi yang masih belum puas dengan pembanding diatas, coba cek lagi istilah ‘moksa’ atau ‘mukti’ dalam ajaran Hindu. Konsep serupa pun terlihat disana. Kondisi penyatuan atman dan brahman menuju kebebasan rohani dan jiwa tanpa keterikatan dengan dunia dan materi. Kondisi yang juga menjelaskan tentang menyatunya manusia dan alam semesta ini sebagai tanda kesempurnaan manusia.
Bahkan dalam dunia tasawuf pun, konsep ma’rifat juga mirip dengan konsep Asmat ini. Pada tingakatan pemahaman spritual manusia, tiap orang mempunyai level tersendiri. Dari terendah yaitu level syariat—dimana seremoni ritual ibadah dan pemahaman terhadap Tuhan hanya berdasarkan text book atau kata-kata yang tertuang pada ayat Al Qur’an semata. Lalu meningkat pada level pemahaman ke hakikat, yaitu pemahaman makna dibalik kata atau arti mendalam dari sebuah ayat Al Qur’an.
Dan akhirnya masuk kedalam level tertinggi yaitu ma’rifat—sebuah kondisi dimana manusia sempurna ibadah syariat-nya, jelas pemahaman hakikatnya dan akhirnya bersatu dengan alam—“berputar” seperti gerakan galaxy dan tata surya sebagai bentuk bertasbih dengan seluruh nafas dan jiwany kepada Tuhan pencipta alam semesta. Dan saat itu adalah saat yang dinanti-nantikan, saat dimana terbukanya hijab (pembatas) antara Tuhan dan mahluknya.
Nah, Jika dikaitkan dengan tingkatan itu—bisa saya artikan bahwa filosofi orang Asmat seperti melompat beberapa tingkat. Langsung ke level tertinggi.
Jadi, masih pantaskah kita yang sama-sama satu bangsa ini menganggap orang Asmat primitif dengan kedalaman filosofi hidupnya? Apakah kita masih merasa jika kita memakai jas dan mereka memakai hiasan ala pohon-pohonan berarti kita lebih canggih daripada mereka? Bisa jadi, kitalah yang masih ‘primitif’ karena dangkal pemahaman esensi kehidupannya dan mudah terbawa opini penjajah.
Sungguh, akhirnya tersisip rasa kagum dengan orang Asmat ini. Bahkan saya sempat saya bertanya-tanya, agaimana pemahaman menyatu dengan alam ini bisa sampai kepada mereka?
Rasanya tak mungkin jika mereka tahu dengan seketika. Ujug-ujug ngerti. Seperti menemukan batu di pinggir jalan saja.
Saya menduga, jauh sebelum kita dan mereka saat ini telah ada peradaban tinggi yang menguasai seluruh wilayah Nusantara ini. Termasuk di wilayah Papua dan suku Asmat didalamnya. Peradaban yang membuat Nusantara ini sudah begitu teratur dan tertib dengan adat dan istiadatnya. Bahkan kearifan lokal ini tampak mudah menyatu dengan ajaran-ajaran agama baru yang kemudian masuk ke wilayahnya.
Dan saya menduga, budaya dan kearifan lokal ini adalah peninggalan kebudayaan yang oleh Plato disebut dengan kebudayaan “ATLANTIS” .
Ya, saya tahu. Sepertinya terdengar bombastis.
Tapi jika melihat banyaknya penemuan baru perihal bukti-bukti keberadaan Atlantis di Nusantara ini, seperti yang tertuang dalam buku Atlantis The Lost Continent Finnaly Found karya Prof. Arisio Santos dari Brazil dan buku biru berjudul EDEN In The EAST karya Prof. Sthepen Oppenheimer dari Oxford University sepertinya memang benar bahwa Nusantara ini memang Atlantis yang hilang. Hilang dengan timeline waktu yang sangat jauh belasan ribu tahun kebelakang.
Apalagi setelah sebagian sejarawan dan arkelog Indonesia berani menggugat penjelasan standar ala penjajah perihal arti relief di Candi Borobudur di Magelang dan Candi Cetho di lereng gunung Lawu. Candi yang merupakan pengisahan ulang sejarah leluhurnya. Dimana jelas terlihat di kedua candi itu gambaran bahwa bangsa-bangsa lain seperti Mesir, Inca, Maya, Indian, Arab, Sumeria, Eropa dan lain sebagainya merupakan bekas wilayah kekuasaaan Atlantis atau Nusantara ini.
Bahkan lebih mencengangkan, banyaknya termuan benda terbang seperti pesawat dan lainnya terdapat dalam relief candi Borobudur dan sikap menghormat dan bersimpuh bangsa-bangsa lain ke nenek moyang kita di Candi Cetho semakin memperjelas bukti bahwa Nusantara pernah menguasai hampir 2/3 belahan bumi dan canggihnya bangsa ini sebelum tenggelam oleh kesombongan serta “hadiah” mencairnya es dan meletusnya gunung-gunung yang memisahkan nusantara menjadi pulau-pulau terpisah.
Saya mengerti, semakin banyak informasi kebesaran Nusantara ini akan muncul juga informasi tandingan menutupi dan mengaburkannya. Tak perlu saya jelaskan lagi alasannya. Yang pasti, Atlantis identik dengan pusat tambang logam mulia EMAS dan ini sangat berbahaya bagi bangsa lain yang berkepentingan jika sampai muncul kesadaran bersama rakyat Indonesia.
Tambang emas yang sudah terbukti dengan habisnya satu gunung di Papua dan kini sudah ditemukan lagi gunung dengan kandungan emas 10 kali lipat di kepulauan Sumatra.
Saya juga mendadak ingat saat Bung Karno—founding father bangsa ini pernah juga membahas Atlantis ini sekitar 48 tahun yang lalu di markas ALRI Tanjung Priok. Saat itu Bung Karno mengatakan, “ada kupasan yang mengatakan bahwa di selatan Pulau Jawa ini ada satu Pulau besar, yang seperti Nusa Tembini, kepulauan pulau Nusa ini, seperti Nusa Tembini diereh oleh seorang Raja Putri.”
Dimana Raja Putri itu, mempraktekkan hukum matriarchal. Namun, kerajaan Nusa Tembini tenggelam ke dasar laut yang dikenang dengan cerita Nyi Roro Kidul. Menurut bung Karno, kisah Nusa Tembini ini sangat identik dengan kepercayaan orang eropa mengenai kerajaan lautan Atlantis. Walau saat itu Bung Karno tidak ingin Indonesia menganggap kisah ini hanya menjadi cerita mistik belaka, namun menjadi orientasi negara agar memperkuat sisi maritim dan kelautannya.
Bahkan sampai presiden penerusnya—Pak Harto mempunyai pandangan yang serupa tetapi beda gaya. Pak Harto memilih menyembunyikan pengetahuan beliau tentang keberadaan ibukota kerajaan Atlantis di Nusantara ini—tepatnya di pulau Jawa. Namun beliau tetap memberikan kisi-kisi berupa peta istana Atlantis yang ternyata berada tidak jauh dari lokasi acara di TMII hari itu (Minggu, 24 Maret 2013). Tempat itu bernama Museum Purna Bhakti Pertiwi.
Seperti yang kita ketahui, cerita kemegahan istana Atlantis ini sangat menginspirasi siapa saja. Konsep berupa menara tinggi yang menembus awan dan tangga yang melingkar yang pernah menjadi inspirasi Raja Namrud untuk membuat tiruannya bernama menara Babelonia. Konsep bentuknya pun kini juga menginspirasi gedung tertinggi di dunia—Burj Khalifa di Dubai. Namun kebesarannya masih belum menyamai istana Atlantis yang asli.
Menurut kode pak Harto dalam design museum Purna Bhakti Pertiwi yang mirip dengan bentuk nasi tumpengan yang membudaya di era kepemimpinannya, jika kita lihat dengan mengungakan google maps atau wikimapia–terlihat keterkaitan yang kuat antara Gunung Penanggungan di Jawa Timur dengan peta atau kode rahasia dari pak Harto ini.
Dan hal itulah yang juga menjadi dasar ketertarikan yang besar untuk menghadiri acara kunjungan ke museum TMII yang diadakan bersama blogger-blogger lain. Disamping untuk mengikis ketidak-pede-an diri Indonesia terhadap bangsa lain dan titik balik kebangkitan Nusantara. Saya menduga masih banyak kode-kode lain tentang Atlantis yang juga disembunyikan oleh pak Harto di museum-museum TMII.
Syukur-syukur bisa terlibat dalam penemuan emas yang luar biasa banyaknya. Banyak emas yang bukan sebesar gunung lagi namun sebesar pulau. Namun jika belum terbongkar rahasianya, setidaknya saya bisa banyak mengumpulkan bahan untuk membuat novel konspirasi ala Dan Brown yang International Best Seller beneran ini. Cuman masalahnya, sudah terlanjur di bahas di artikel ini jadi mulai siap-siap bersaing dalam berburu data dengan penulis dan blogger lain.
Maklum, soal data tulisan novel ini—strategy siapa cepat dapat masih berlaku. Apalagi selama bulan April 2013 ini berlangsung acara besar museum-museum di TMII.
Yak, mulai tancap gas!
…..
twitter: @hazmiSRONDOL
[Bekasi 26 Maret 2013]