BAKTI RAJA UNTUK SANG IBUNDA-1


Kisah di bawah ini merupakan cuplikan sejarah Kasunanan Surakarta, salah satu pecahan dari Kerajaan Mataram Islam. Yang akan diceritakan adalah soal rasa hormat Sunan Pakubuwono V kepada ibu tirinya, GKR Kenconowungu. Juga diceritakan bagaimana piawainya sang raja saat masih menjadi putra mahkota yang harus mengurai keruwetan rumah tangga sang ayah, Sunan Pakubuwono IV. Sumber saya ceritakan kembali secara bebas dan selektif dari buku berjudul “Pakubuwono V”, karangan Soemosapoetro, yang terbit pada tahun 1956. Buku ini aslinya berbahasa Jawa krama inggil, salah satu tingkatan tertinggi penggunaan Bahasa Jawa yang lazim dijumpai dalam uraian karya sastra Jawa, terutama yang ditulis oleh pujangga keraton.
Duka
Syahdan, Pangeran Adipati Anom begitu berduka. Putra mahkota Sunan Pakubuwono III itu seakan tak kuat menanggung nestapa karena isterinya yang tercinta, Bandoro Raden Ayu (BR.Ay.) Adipati Anom (yang saat muda bernama Raden Ajeng Handoyo), putri pertama dari Adipati Cakraningrat di Madura,  meninggal dunia. Bukan karena ditinggal tambatan hati, namun juga sang pangeran amat sedih mengingat mereka sebenarnya sedang menempuh kebahagiaan karena sudah dikarunia seorang putra laki-laki yang diberi nama Gusti Raden Mas (GRM) Sugandi dan sudah berusia 1,5 tahun. Seakan tidak ingin berpisah terlalu jauh dengan almarhumah isteri yang dicintainya, ia meminta supaya jenazah isterinya dikebumikan di Laweyan, di serambi masjid milik Kasunanan Surakarta. Permintaan itu jelas menetang tradisi mengingat sebagai keluarga inti keturunan raja-raja Mataram mestinya dimakamkan di Pemakaman Pajimatan di Imogiri yang dulu sengaja dibuat oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma, raja Mataram yang terkenal heroik karena pernah memerintahkan penyerangan ke Batavia tahun 1626 dan 1628 tersebut. Dengan dimakamkan di Laweyan, sang putra mahkota berharap akan dapat sewaktu-waktu berziarah kepada isterinya tersebut.
Tahta
Di tengah kedukaan tersebut, pada tanggal 26 September 1788 ayahnya, Sunan Pakubuwono III yang bertahta di Kasunanan Surakarta meninggal dunia.
Pangeran Adipati Anom tak dapat mengelak dari kewajiban. Mengingat kedudukannya sebagai putra mahkota yang harus segera memikul tanggung jawab besar karena harus menggantikan kedudukan ayahnya. Maka dipupuslah segala kedukaan karena meninggalnya sang isteri dan 3 hari sesudah wafatnya sang ayah, ia diwisuda menjadi Sunan Pakubowono IV, tepatnya pada tanggal 29 September 1788. Suatu beban yang luar biasa, mengingat saat itu usianya masih sangat muda, sekitar 20 tahun lebih 7 bulan. Kelak Sunan Pakubuwono IV ini termasuk salah satu raja yang mumpuni dan melahirkan banyak tulisan sastra (serat), dan satu diantaranya yang terkenal adalah Serat Wulangreh, yang tempo hari telah saya upload di media ini.
Hampir 3 tahun setelah menjadi raja, demi menjaga wibawa dan kedudukannya, Sunan Pakubuwono  IV memutuskan untuk menikah kembali. Uniknya, perempuan yang dipilih adalah Raden Ajeng Sakaptinah, yang juga putri Adipati Cakraningrat di Madura. Dalam istilah Jawa, perkawinan di mana laki-laki menikahi saudara isterinya yang sudah meninggal dunia, dikenal dengan perkawinan “ngrangulu.” Pernikahan itu diresmikan pada 17 Agustus 1791. Isteri barunya itu diberi kedudukan sebagai permaisuri dengan gelar Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Kenconowungu. Putra Sunan Pakubuwono IV, GRM Sugandi yang sejak kecil tak pernah merasakan belaian kasih saying ibu, menyambut baik pernikahan ayahnya itu, dan bahkan menghormati permaisuri itu tak kurang laksana kepada ibunya sendiri. Dari pernikahan itu, Sunan Pakubuwono IV memperoleh 2 anak, yaitu Pangeran Purboyo dan GKR Pembayun.
Sepuluh tahun kemudian, pada 13 Agustus 1792 GRM Sugandi diangkat ayahnya menjadi putra mahkota dan kemudian bergelar Pangeran Adipati Anom. Saat itu usia GRM Sugandi sudah menginjak 7 tahun 8 bulan. Kedudukan itu dikukuhkan lagi pada 11 Juli 1796,
Sesudah memperoleh kedudukan sebagai calon raja itulah, Pangeran Adipati Anom kemudian belajar banyak hal mengenai ilmu keprajuritan, tata pemerintahan, dan tak ketinggalan bahasa dan sastra Jawa. Untuk yang terakhir ini, sang pangeran tiada memperoleh kesulitan mengingat sang ayah adalah raja tetapi berjiwa pujangga dengan banyak menyajikan karya sastra yang tinggi pengaruhnya terhadap peradaban kerajaan. Kelak sang pangeran ini akan mampu melahirkan karya sastra yang dewasa ini termasyur sebagi ensiklopedia ilmu pengetahuan dan diberi nama “Serat Centhini.” Bahkan tidak segan-segan sang ayah sendiri yang memberikan pengajaran soal keutamaan dan keluhuran peran sebagai seorang raja. Sang ayah juga yang kemudian mencarikan isteri bagi putera mahkota tersebut yaitu seorang putrid dari Raden Mas Haryo Joyodiningrat, kerabat Kasunanan Surakarta.
Keris Pusaka
Akibat semangat dalam menerima ajaran-ajaran keluruhan ilmu pengetahuan dan kesusasteraan itu, Pangeran Adipati Anom kemudian tumbuh menjadi sosok yang cerdas dan kaya inisiatif. Bahkan, dalam suatu kesempatan tersendiri, sang pangeran secara terampil mampu membuat sebuah keris. Dan keris itu sedemikian indahnya dan terbuat dari serpihan logam meriam Kyai Guntur Geni, pusaka di masa Sunan Pakubuwana II saat masih bertahta di Keraton Kartosura. Konon meriam itu memiliki kesaktian yang luar biasa dan saat pemberontakan Raden Mas Garendi (kelak bergelar Sunan Kuning), pusaka itu dijadikan senjata andalan, tetapi rusak.
Ketika Sunan Pakubuwono IV tahu hasil keterampilan putranya tersebut, beliau meminta keris itu dijadikan pusaka kerajaan dan diberi nama Kanjeng Kyai Kaget. Nama ini berasal dari suara hati sang raja yang kagum dengan keterampilan sang putra mahkota dalam menghasilkan pusaka dengan keindahan yang luar biasa.

Mas Ishar