Mengenang semangat juang Cut Mutia


 


Selamat jalan Ibunda Tercinta Cut Mutia, kami akan mewarisi segala nilai-nilai perjuanganmu untuk kemakmuran Bangsa

Ilustrasi Cut Nyak Mutia
EMPAT puluh lima karyawan PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) dipandu 12 warga dan lima personil Polsek dan Koramil, melakukan napak tilas ke makam Cut Mutia di kawasan Gunong Lipeh, Pirak Timu, Aceh Utara, mulai Sabtu hari ini sampai besok, Minggu, 28 April 2013.

Direktur Umum dan SDM PT PIM, Usman Mahmud menyebutkan napak tilas tersebut, bagian dari serangkaian kegiatan ulang tahun PT PIM ke 31. Selain untuk mengenang sejarah perjuangan Cut Mutia, kata dia, karyawan PIM juga ingin membersihkan kompleks makam pahlawan nasional itu.

Sebelum melakukan napak tilas, tim dari PT PIM telah mengumpulkan bahan dari berbagai sumber tentang sejarah perjuangan Cut Mutia. Berikut riwayatnya:

Cut Mutia lahir di Keureuto, Pirak, Aceh Utara pada tahun 1870. Ia adalah seorang Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang berasal dari keluarga secara turun-temurun adalah pejuang, yang hingga titik darah penghabisan tetap memegang prinsip tak akan mau tunduk kepada kolonial/Belanda. Srikandi Aceh ini terus berjuang melawan Belanda hingga tewas diterjang tiga peluru pasukan Moselman pada tanggal 24 Oktober 1910 di Hulu Krueng Peutue.

Sebelum Cut Mutia lahir, pasukan Belanda sudah menduduki daerah Aceh. Perlakuan Belanda yang semena-mena dengan berbagai pemaksaan dan penyiksaan telah menimbulkan perlawanan dari rakyat. Tiga tahun sebelum perang Aceh-Belanda meletus, ketika itulah Cut Nyak Mutia dilahirkan. Suasana perang pada saat kelahiran dan perkembangannya itu, di kemudian hari sangat memengaruhi perjalanan hidupnya.

Cut Mutia pernah menikah 3 kali, suami pertama bernama Teuku Syam Sarief, tapi kemudian dia minta diceraikan karena sang suami lebih berpihak kepada Belanda. Kemudian Cut Mutia menikah lagi dengan Teuku Chik Muhammad yaitu seorang pejuang yang lebih terkenal dengan nama Teuku Chik Tunong.

Perang terhadap pendudukan Belanda terus berkobar seakan tidak pernah berhenti. Cut Mutia bersama suaminya Teuku Cik Tunong langsung memimpin perang di Daerah Pase. Perang yang berlangsung sekitar tahun 1900-an itu telah banyak memakan korban baik di pihak pejuang kemerdekaan maupun di pihak Belanda. Pasukan Belanda yang mempunyai persenjataan lebih lengkap memaksa pasukan pejuang kemerdekaan yang dipimpin pasangan suami istri itu melakukan taktik perang gerilya. Berkali-kali pasukan mereka berhasil mencegat patroli pasukan Belanda. Di lain waktu, mereka juga pernah menyerang langsung ke markas pasukan Belanda di Idie.

Bersama suaminya tanpa kenal takut dia terus melakukan perlawanan. Namun naas bagi Teuku Chik Tunong suaminya, suatu hari di bulan Maret Tahun 1905 Teuku Chik Tunong ditangkap pasukan Belanda dengan tipu muslihat dan disekap di dalam penjara Lhokseumawe.

Pada tanggal 25 Maret 1905, Teuku Chik Tunong dijatuhi hukuman gantung, tapi tidak sempat dilakukan karena Gubernur Van Daalen pengganti Van Heutz mengubahnya menjadi hukuman tembak. Menurut Van Daalen, dia tidak layak menjatuhi hukuman gantung terhadap orang-orang yang berjuang dengan cara gagah berani seperti Teuku Chik Muhammad. Teuku Chik Muhammad di hukum mati (ditembak) di tepi pantai Lhokseumawe, sekarang dikenal dengan sebutan Ujung Blang Lhokseumawe.

Berselang beberapa lama setelah kematian suaminya, Cut Mutia menikah lagi dengan Pang Nanggroe. Pria yang ditunjuk dan dipesan suami keduanya sebelum menjalani hukuman mati. Pang Nanggroe adalah teman akrab dan kepercayaan Teuku Chik Tunong sekaligus sebagai Panglima Pasukan. Bersama Pang Nanggroe, Cut Mutia melanjutkan perjuangan melawan Belanda, dan dibantu ulama Paya Bakong bernama Tengku Paya Bakong atau Tengku Seupot Mata.

Hari berganti hari, pengepungan pasukan Belanda pun semakin hari semakin ketat yang mengakibatkan basis pertahanan mereka semakin menyempit. Pasukan Cut Mutia semakin tertekan mundur masuk lebih jauh ke pedalaman rimba Pase. Di samping itu, mereka pun terpaksa berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk menyiasati pencari jejak pasukan Belanda. Namun pada satu pertempuran di Paya Cicem pada bulan September 1910, Pang Nanggroe tewas di tangan pasukan Belanda. Sementara Cut Mutia bersama pasukannya masih dapat meloloskan diri.

Kematian Pang Nanggroe membuat beberapa orang teman Pang Nanggroe akhirnya menyerahkan diri. Sedangkan Cut Mutia walaupun dibujuk untuk menyerah namun tetap tidak bersedia. Di pedalaman rimba Pase, dia hidup berpindah-pindah bersama anaknya, Raja Sabi yang masih berumur 11 tahun untuk menghindari pengejaran pasukan Belanda.

Tapi pengejaran pasukan Belanda yang sangat intensif membuatnya tidak bisa menghindar lagi. Rahasia tempat persembunyiannya terbongkar, dalam suatu pengepungan yang rapi dan ketat pada tanggal 25 Oktober 1910, dia berhasil ditemukan. Dimulai dari gugurnya pejuang kharismatik Teungku Seupot Mata, walaupun dalam situasi terkepung pasukan Belanda bersenjata api lengkap, tapi tidak membuat hatinya kecut. Dengan sebilah rencong di tangan, dia tetap melakukan perlawanan, namun tiga orang tentara Belanda melepaskan tembakan, dia pun gugur.

Cut Nyak Mutia gugur sebagai pejuang pembela bangsa. Atas jasa dan pengorbanannya, oleh Negara namanya dinobatkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang dinyatakan dalam SK Presiden RI No.107 Tahun 1964, tanggal 02 Mei 1964

Semoga kita sebagai generasi penerusnya dapat mewarisi nilai-nilai perjuangan Cut Mutia: Yang tidak pernah lentur semangatnya dalam membela Tanah Air. Yang tetap melaksanakan amanah rakyatnya untuk melawan penjajah Belanda. Yang tidak pernah tunduk terhadap bujuk rayu penjajah Belanda untuk menukar setiap jengkal tanah airnya dengan kenikmatan dunia. Yang dapat berkerjasama dengan berbagai golongan Pemimpin Aceh dalam melawan penjajah Belanda. Yang cerdas dalam mengatur siasat perang.

Selamat jalan Ibunda Tercinta Cut Mutia, kami akan mewarisi segala nilai-nilai perjuanganmu untuk kemakmuran Bangsa.

Tim Napak Tilas Sejarah Perjuangan Cut Mutia
PT. Pupuk Iskandar Muda 2013.[](iip)