Pemakaman Bapak dan Geger Pecinan 1740-1743


Pertengahan Mei 1998, terlihat peningkatan aktivitas penjagaan keamanan yang signifikan di komplek tempat tinggal saya yang mayoritas dihuni oleh warga Tionghoa. Barikade kawat berduri disusun secara berlapis di depan gerbang masuk dan puluhan aparat keamanan dari Brimob Polri bersenjata lengkap berpatroli secara bergiliran selama satu minggu penuh. Di rumah warga pribumi tertulis “bukan rumah China”, termasuk di pagar rumah ibu saya. Kerusuhan rasial yang terjadi di Jakarta sehari sebelumnya dengan cepat menyebarkan ketakutan di kalangan warga Tionghoa di Kota Bogor. Aktivitas perdagangan di Pecinan berhenti total selama beberapa hari. Sepanjang saya tinggal di Bogor, baru kali itulah melintasi Jalan Suryakencana, Pecinannya Bogor, dalam keadaan sangat lengang seperti di film seri The Walking Dead.
Ada yang salah dengan pola hubungan pribumi-Tionghoa selama ini. Orang Tionghoa dikatakan tidak mempunyai loyalitas kepada negara. Pada jaman Belanda, mereka bersikap pro Belanda. Pada masa Jepang berkuasa mereka berkawan dengan Jepang. Dan ketika masa revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan, mereka bersikap baik kepada kaum republik. Sebaliknya orang pribumi dikatakan pemalas dan tidak bisa diandalkan. Pintar bicara tetapi nol dalam aksi. Pemerintah telah mencoba merapatkan jurang kecurigaan antara pribumi dan Tionghoa dengan berbagai pendekatan, baik ekonomi, antropologi dan lain sebagainya. Tetap saja ketika Koh Ahok terpilih menjadi Bupati Belitung Timur dan akhirnya menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta, sebagian kalangan tetap mengedepankan prasangka buruk. Bukannya mengintrospeksi diri kenapa rakyat tidak memilihnya, malahan membawa sentimen agama yang sangat sensitif berkembang menjadi konflik terbuka, khususnya di Indonesia.
Sejarah bangsa ini telah mencatat kiprah perjuangan Yap Tjwan Bing di bidang politik dan Laksamana Muda John Lie di bidang militer pada masa revolusi fisik. Itupun cenderung makin dilupakan oleh kebanyakan orang. Padahal darah orang Tionghoa pernah ikut menetes membasahi ibu pertiwi bersama-sama darah saudara-saudaranya dari suku Jawa, Minang, Sunda, Batak, Bali, Banjar, Bugis yang menjadi landasan berdirinya negara Indonesia. Bila saat ini orang Tionghoa menjadi eksklusif bukan karena kemauan mereka, melainkan dipaksa oleh VOC setelah terjadi suatu peristiwa besar yang tidak saya temukan literaturnya pada buku-buku sejarah SD-SMA saat bersekolah dulu, yaitu : Geger Pecinan 1740-1743. Sebuah perang besar yang terjadi di Pulau Jawa selain Perang Diponegoro 1825-1830, yang berdampak pada pemisahan sistematis antara golongan pribumi dan Tionghoa oleh VOC supaya kedua kaum ini tidak dapat mengakumulasikan kekuatannya melawan penjajah.
Eksploitasi VOC kepada para imigran Tionghoa sejak tahun 1690, berupa pemerasan dan kewajiban membayar permissie brief, mencapai klimaksnya ketika pada tanggal 10 Oktober 1740 terjadi pembantaian massal terhadap 10.000 orang Tionghoa di Batavia atas perintah Gubernur Jenderal Adrian Valckenir. Dilanjutkan dengan pembantaian sebanyak 500 orang Tionghoa yang masih tersisa di dalam tembok kota Batavia, kebanyakan orang tua, wanita, anak-anak dan pasien rumah sakit. Mereka diseret keluar dari tempat tinggalnya, dikumpulkan di Stadhuisplein (lapangan besar di depan Museum Fatahillah), disembelih massal dan mayatnya dibuang begitu saja di Kali Besar.
Kekejaman VOC tadi membangkitkan perlawanan warga Tionghoa yang dipimpin oleh Kapitan Sepanjang yang bernama asli Tay Wan Soey, saudara lain ibu dari salah satu Kaisar China terbesar Dinasti Qing, Qian Long. Perang berkobar dengan cepat dan memperoleh simpati dari Pakubuwono II, raja Mataram yang kedaulatan negaranya diinjak-injak VOC sejak berakhirnya peristiwa Pemberontakan Trunojoyo pada tahun 1680. Satu persatu benteng dan kantor perwakilan VOC direbut oleh pasukan gabungan Jawa-Tionghoa, seperti Pati, Kudus, Juwana, Tegal dan Semarang. Puncaknya pada tanggal 10 Agustus 1741, benteng VOC di ibukota Kesultanan Mataram di Kartasura yang juga simbol penjajahan karena terletak tidak jauh dari keraton (sama seperti benteng Vredeburg di Yogyakarta yang hanya berjarak satu tembakan meriam dari keraton), dapat direbut oleh pasukan gabungan dua ras Jawa dan Tionghoa. Sayangnya karena takut terhadap ancaman VOC, pada awal tahun 1742, Pakubuwono II mencabut dukungannya kepada laskar Tionghoa dan berbalik memeranginya. Jadi siapa sebenarnya yang tidak loyal kepada perjuangan disini?
Pencabutan dukungan Pakubuwono II, tidak serta merta memadamkan perlawanan terhadap VOC. Kapiten Sepanjang adalah guru militer bagi dua bangsawan Jawa yang kelak menjadi raja di tanah Jawa, Pangeran Mangkubumi (Hamengkubuwono I) dan Raden Mas Said (Mangkunegoro I). Sahabatnya yang lain dan dianggap sebagai rajanya orang Jawa dan Tionghoa, Amangkurat V atau Sunan Kuning nasibnya kurang beruntung karena tertangkap VOC di Surabaya pada bulan Desember 1743 dan kemudian dibuang ke Srilangka. Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said tetap melanjutkan perlawanan sampai akhirnya Pakubuwono II yang dibantu VOC kehabisan tenaga dan menandatanganani Perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua wilayah, Yogyakarta dan Surakarta. Disusul pembentukan Praja Mangkunegaran yang merupakan kadipaten otonom dengan ditandatanganinya Perjanjian Kalicacing, Salatiga pada tahun 1757.
Jika Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said akhirnya memperoleh kemuliaan dunia sebagai raja pertama di masing-masing wilayahnya, serta kemudian dianugerahi gelar pahlawan nasional pada era Indonesia modern, bagaimana halnya dengan Kapiten Sepanjang? Setelah tertangkapnya Amangkurat V, ksatria dari China yang pantang menundukkan kepalanya kepada Belanda ini mengasingkan dirinya dengan berkelana ke wilayah timur Pulau Jawa. Ahli strategi perang Sun Tzu yang juga pakar persenjataan dan seni bela diri kungfu ini terlihat terakhir kali di muka umum pada tahun 1758 di Istana Gusti Agung, Bali. Sudah selayaknya pemerintah menganugerahinya dengan gelar pahlawan nasional seperti yang telah diberikan kepada dua orang sahabat sekaligus murid pribuminya, Hamengkubuwono I dan Mangkunegoro I.
Indonesia modern tidak perlu menunggu dilanda perang untuk mempersatukan kekuatan dua etnis yang diakui dunia sebagai pemilik kecerdasan spiritual dan kecerdasan finansial ini. Secara kelembagaan, dalam skala terbatas (misalnya diterapkan pada beberapa PTN/PTS pilihan) kita dapat meniru Singapura dengan National Service atau Wajib Militernya dimana warga negara dari seluruh ras yang ada disana (China, Melayu, India) dipersatukan untuk membela tanah airnya tanpa kecuali. Perbanyak para pengusaha Tionghoa yang mengikuti kursus kebangsaan seperti Lemhannas karena mereka termasuk dalam komponen strategis pembangunan. Buka kesempatan yang seluas-luasnya kepada mereka untuk berkiprah di birokrasi dan kemiliteran (kombatan, bukan sebatas dokter militer). Dan sebaliknya pribumi jangan terlena dengan etos kerja yang ala kadarnya. Kita selama ini bisa seenaknya sedikit-sedikit mengatakan “dasar China” karena merasa kuat sebagai mayoritas. Padahal Tuhan tidak akan berlama-lama memberikan nikmat bila si penerima nikmat tadi tidak mensyukurinya dengan kerja keras, doa dan berbagi pada sesama.
Kamis siang ba’da dzuhur, 27 November 1997 saat bapak berpulang ke rahmatullah, ratusan teman-temannya dari etnis Tionghoa mengantarkannya ke peristirahatan terakhir di TPU Dreded, Bogor. Banyak dari mereka yang menitikkan air mata sepanjang prosesi pemakaman. Pada hari itu mereka khusus meninggalkan pekerjaan serta tokonya untuk memberikan penghormatan terakhir kepada orang yang mereka anggap sebagai sahabat sekaligus saudaranya. Dilanjutkan dengan ketika menjelang saya lulus kuliah 3,5 tahun kemudian, beberapa tawaran pekerjaan datang dari para tetangga dan sahabatnya bapak yang memiliki perusahaan berskala nasional. Di mata saya, hal tersebut cukup untuk membuktikan bahwa orang Tionghoa bisa dipercaya sebagai guru, sahabat, saudara, rekan kerja sekaligus partner strategis dalam nation building…………..
Rizak B WW