Hikmah Diam




“Diam adalah paling tingginya akhlak.” (HR ad-Dailami)



Lidah seseorang sering menjadi sumber bencana, manakala bergerak liar tak terkendali. Lidah tak lagi memproduksi kata-kata yang santun dan toleran, melainkan umpatan, provokasi destruktif, kebohongan, kenistaan, dan lainnya, yang berujung pada disharmoni dan rasa penuh curiga.



Ibarat harimau, lidah yang berada dalam kondisi “lapar” ini siap menerkam siapa saja, termasuk diri sendiri. Maka, lidah mesti dikendalikan dan diarahkan kepada hal-hal yang positif.



Karena ulah lidah pula, banyak kaum muslimin terperangkap dalam jerat permusuhan, pertumpahan darah, pertikaian, dan aneka bentuk kekerasan lainnya. Suatu sikap yang bertentangan secara diametral dengan nilai-nilai Islam yang mencintai kedamaian, kesejukan, dan harmoni hidup.



Ada satu pilihan bijak agar kita terhindar dari bencana yang bersumber dari bobroknya lidah, yaitu diam. Sikap diam adalah cermin kedalaman spiritual dan kebeningan hati seorang muslim. Seorang muslim yang bijak tak akan pernah mengumbar kata-kata. Apalagi kata-kata itu menjurus kepada kenistaan dan kebencian.



Ketika berhadapan dengan masalah yang pelik misalnya, seorang muslim yang bijak tak akan pernah bersikap frontal dan kasar. Ia akan mencerna dan memahami setiap detail masalah, kemudian bicara seperlunya sesuai konteks.

Benar kata Rasulullah SAW, sikap diam akan menyelamatkan kita dari kehancuran dan nestapa kehidupan. Bahkan, sikap diam menyiratkan tingkat kedalaman iman kita kepada Allah SWT. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)



Sikap diam mengandung sejuta hikmah, walau tak semua orang bisa menikmati atau sekadar mencicipi manisnya hikmat tersebut. Rasulullah bersabda, “Diam itu adalah hikmah, tapi sedikit orang yang melakukannya.” (HR. Baihaqi)



Dalam konteks dan situasi bagaimana kita harus bersikap diam? Minimal ada enam perkara kita harus memilih sikap diam dan menghindari perkara tersebut. Yaitu debat kusir, ghibah, berbicara tentang hal-hal yang tidak berguna, syatm, buhtân, dan fitnah.



Debat Kusir

Lidah kita sering gatal untuk mendebat seseorang karena persoalan sepele. Kita pun lantas menikmati perdebatan tersebut karena rasa superior dan tingginya gengsi hati. Didorong oleh sikap tidak mau kalah. Tak jarang, perdebatan diakhiri dengan pertengkaran fisik.



Debat kusir adalah kejahatan lidah yang sangat berbahaya. Orang yang memaksakan diri “berjudi” di arena debat kusir, sesungguhnya ia sedang membawa dirinya ke dalam jurang kehancuran.



Bagi seorang muslim, tak ada alasan pembenar melakukan debat kusir. Menghindarinya adalah pilihan yang sangat arif untuk menyelamatkan diri dari lubang kehancuran dan murka Allah. Kemampuan meninggalkan debat kusir sesungguhnya merupakan barometer kesempurnaan iman.



Rasulullah bersabda, “Tidak beriman seseorang hingga ia meninggalkan perdebatan walau perdebatan itu benar, dan meninggalkan kebohongan walau hanya sekadar main-main.” (HR. Ibnu Wahab)



Berbicara Hal yang Tidak Berguna

Salah satu alasan mengapa seseorang berbicara hal-hal yang tidak berguna, adalah untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa ia cerdas dan berwawasan luas. Padahal, orang yang banyak bicara, apalagi hal-hal yang tidak berguna, sesungguhnya seperti tong kosong nyaring bunyinya. Jiwanya kering dan otaknya miskin. Ucapan yang keluar dari lidahnya tak ubah seperti sampah yang baru diangkat dari tempatnya. Menjijikkan.



Menghindari berbicara hal-hal yang tidak berguna, tidaklah mudah. Apalagi lidah memang tidak bertulang. Tapi hal itu harus dilakukan oleh seorang muslim, karena merupakan barometer kesempurnaan agamanya.



Ketika seorang muslim mampu menahan lidahnya dari berbicara hal-hal yang tidak perlu, maka semakin tinggi dan sempurna derajat keberagamaannya di mata Allah. “Di antara kesempurnaan Islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna.” (HR. Tirmidzi)



Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa Anas ibn Malik RA bercerita: Suatu hari pada Perang Uhud, aku melihat seorang pemuda yang mengikatkan batu ke perutnya lantaran kelaparan. Ibunya lalu mengusap debu dari wajahnya sambil berkata, ”Semoga surga menyambutmu, wahai anakku.”



Ketika melihat pemuda yang terdiam itu, Nabi SAW bertanya, ”Tidakkah kamu ketahui mengapa ia terdiam saja? Mungkin ia tak ingin bicara yang tak perlu, atau ia menolak dari hal-hal yang membahayakan dirinya.”

Dalam riwayat lain Nabi bersabda, ”Kalau kamu menemukan seseorang yang sangat berwibawa dan banyak diamnya, ketahuilah mungkin ia sudah memperoleh hikmah.”



Syatm

Syatm berarti perkataan yang di dalamnya terkandung unsur penghinaan, permusuhan, kedengkian, menyakiti, atau menjatuhkan harga diri orang lain. Perkataan jenis ini seringkali dilontarkan untuk sebutan-sebutan berlebihan dengan maksud menghina dan mengerdilkan seseorang.



Suatu ketika ada seorang Sahabat yang mencemooh Ali ibn Abu Thalib RA karena kepalanya yang tidak berambut. Sahabat itu berkata, ”Hai, lihat! Sudah datang si botak!” Mendengar ucapan itu Nabi bersabda, ”Janganlah kau kecam Sahabat-sahabatku.” (HR. al-Bukhari)



Ucapan bernada syatm, biasanya merupakan representasi sikap seseorang yang keras kepala, sombong, angkuh, merasa paling berkuasa, dan maunya menang sendiri. Lebih dari itu, ucapan ini pertanda bahwa hati si pengucap keras dan berkarat.



Sebagai muslim, tak perlu kita melancarkan serangan balik kepada pihak yang menghina kita. Karena tak ada manfaatnya. Melakukan serangan balik justru akan memperuncing masalah. Berdoalah kepada Allah, agar orang tersebut dibukakan mata hati dan otaknya.



Ghibah

Ghibah (bergunjing) adalah perbuatan keji dan kotor. Orang senang menggunjing ibarat suka memakan daging bangkai saudaranya sendiri. Ali ibn Abu Thalib seperti dinukil al-Maraghi berkata, “Hindarilah pergunjingan (ghibah), karena ia adalah makanan anjing-anjing manusia.”



Ghibah adalah menyebutkan hal-hal yang tidak disukai orang lain, walaupun itu benar. Baik berkaitan dengan kondisi badan, agama, dunia, jiwa, akhlak, harta, dan lainnya. Cara ghibah bermacam-macam. Di antaranya membeberkan aib, menirukan tingkah laku atau gerak tertentu dari orang yang dipergunjingkan dengan maksud mengolok-olok.



Suatu hari Aisyah RA pernah berkata kepada Rasulullah tentang Shafiyyah bahwa ia wanita yang pendek. Beliau bersabda, “Sungguh kamu telah berkata dengan suatu kalimat yang jika dicampur dengan air laut niscaya ia akan mengubah air laut itu.” (HR. Abu Daud)



Orang yang suka melakukan ghibah menunjukkan kelemahan dan kemiskinan diri. Seandainya ia kaya, tidak mungkin ia menggunjing orang lain, karena masih banyak masalah-masalah lain yang lebih berguna dan bermanfaat untuk dibicarakan.



Karena ghibah merupakan perbuatan keji, sudah barang tentu pelakunya akan dimasukkan ke dalam api neraka. “Barangsiapa menolak (ghibah) atas kehormatan saudaranya, niscaya pada hari kiamat Allah akan menolak menghindarkan api neraka dari wajahnya.” (HR. Ahmad)



Buhtân

Buhtân berupa penyebaran kebohongan tentang seseorang, atau rekayasa rumor negatif tentang seseorang yang tujuannya untuk menjatuhkan harga dirinya.



Frekuensi buhtân akan meningkat ketika terjadi kompetisi antara dua tokoh atau lebih memperebutkan jabatan tertentu. Berbagai intrik destruktif dilancarkan untuk memberi stigma negatif terhadap calon lainnya. Tujuannya untuk mereduksi kepercayaan masyarakat terhadap seorang calon, sehingga mereka akan berpaling ke calon lain.



Buhtân menjadikan rivalitas antara tokoh yang memperebutkan kekuasaan tertentu menjadi tidak fair dan cenderung menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Ini perlu diwaspadai, karena akan menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja. Chaos di tengah masyarakat akan terjadi.



Buhtân juga kerap menimpa seorang alim. Terutama ketika para alim berseberangan ide atau gagasan keagamaan yang dikembangkan alim lainnya. Di sinilah perlunya membangun sikap saling memahami dan menghargai. Tak ada klaim yang paling benar. Apalagi, menyangkut masalah-masalah kontroversial.



Fitnah

Fitnah biasanya pecah karena dibakar kedengkian dan kebencian terhadap seseorang. Fitnah lahir sebagai akumulasi dari ghibah dan buhtân. Ia merupakan kejahatan tertinggi yang diproduksi oleh lidah.



Fitnah ada di mana-mana dan menimpa siapa saja tanpa pandang status. Seorang tetangga misalnya, tega memfitnah tetangga lainnya hingga kehidupan keluarga tetangganya itu berantakan. Atau, karena ambisi memperoleh kedudukan yang lebih tinggi, orang tega memfitnah atasannya sehingga karirnya hancur.



Taktik busuk menebarkan fitnah untuk kepentingan pribadi atau golongan ini lazim terjadi di tengah-tengah kehidupan kita. Maka terhadap fitnah, orang Islam harus selalu waspada. Waspada untuk tidak berbuat fitnah, dan waspada untuk menghadapi fitnah dari pihak lain.



Di Tanah Air, sering kita saksikan keributan dan kerusuhan antaretnis, umat beragama, suku, bahkan antarmuslim sendiri, dengan penyebab utama adalah fitnah dan adu domba. Begitu besarnya bahaya dan dosa fitnah, maka Islam mengkategorikannya sebagai perbuatan lebih kejam dari pembunuhan (QS Al-Baqarah [2]: 191).



Bahkan Rasulullah mempertegas lagi dengan sabdanya, “Tak akan masuk surga orang yang suka menebar fitnah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)



Fitnah ibarat menyulut ranting kering. Ia akan cepat merebak ke mana-mana dan membakar apa saja yang dilaluinya. Cara terbaik untuk terhindar dari fitnah adalah jangan pernah sedikitpun terdetik dalam hati kita untuk memfitnah. Ketika datang dorongan kuat dari nafsu untuk memfitnah, beristighfarlah dan mohonlah ampun kepada Allah.



Ada baiknya kita renungi kembali perkataan Ali ibn Abu Thalib tentang pentingnya merawat lidah, ”Betapa banyak darah tumpah karena lidah. Betapa banyak manusia binasa karena lidahnya. Dan betapa banyak ucapan yang menyebabkan kamu kehilangan kenikmatan. Maka simpanlah perbendaharaan lidahmu, sebagaimana kamu menyimpan perbendaharaan emas dan uangmu.”






Wallâhu a’lam bish-shawâb.