Jerat Hawa Nafsu dan Panjang Angan
Diriwayatkan dari Ali RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya perkara yang paling aku takuti terhadap kalian adalah menuruti hawa nafsu dan panjang angan. Adapun menuruti hawa nafsu dapat menghalangi dari kebenaran. Sedangkan panjang angan artinya sama dengan mencintai dunia.” (HR Ibnu Abi-Dunya)
Kondisi masyarakat Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Sebagian mereka tengah terjangkiti virus menuruti hawa nafsu dan panjang angan. Dua virus yang bisa membunuh kepribadian bangsa, dan menyebabkan kondisi kehidupan bangsa terus terpuruk.
Mega skandal Bank Century yang menilap uang negara sebesar 6,7 triliun, menjadi bukti konkret bagaimana virus hawa nafsu telah menutup mata para petinggi negara ini dari kebenaran.
Apapun alasannya, terutama menyelematkan ekonomi bangsa, sebenarnya hanya sekadar untuk menutup-nutupi fakta sesungguhnya. Apalagi bukti-bukti faktual menyatakan adanya tindak merugikan negara dan rakyat dalam kebijakan penyelamatan bank ini. Tapi, kebenaran tetaplah nyata. Ia tak bisa ditutup-tutupi dengan apapun, termasuk oleh para petinggi negara.
Virus lainnya adalah panjang angan. Mimpi menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang maju, sejahtera, dan makmur, kini menjadi utopia, bila diukur dengan etos kerja masyarakatnya yang pemalas, mudah putus asa, dan cepat berpuas diri.
Masyarakat Indonesia adalah tipe masyarakat yang hanya berpijak pada angan-angan, bukan kreativitas sebagai landasan hidup. Akibatnya, bangsa ini tak mampu mengelola kekayaan alamnya yang luar biasa, dan cenderung menjadi “tamu” di negeri sendiri. Lahirlah berbagai bentuk penjajahan baru, terutama di bidang ekonomi dan kebudayaan. Tangan asing kini begitu kuat mencengkram pundak bangsa Indonesia.
Dua virus ini termasuk perkara yang paling Rasulullah takutkan untuk terjadi pada umatnya. Umat Islam yang diserang virus ini, mereka akan merasa kekal selamanya di dunia. Sungguh sangat bahaya dan membahayakan.
Jerat Hawa Nafsu
Hawa nafsu adalah musuh bersama. Memeranginya termasuk “jihad akbar” yang sangat dianjurkan bagi setiap muslim. Rasulullah bersabda, “Kita baru kembali dari sebuah peperangan kecil untuk memasuki peperangan yang lebih besar.” Sahabat bertanya, “Peperangan apakah itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Peperangan melawan hawa nafsu.” (HR al-Baihaqi)
Kenapa hawa nafsu mesti diperangi? Karena hawa nafsu bisa memalingkan seseorang dari kebenaran. Seorang Kepala Daerah misalnya, ia tak lagi akan memperjuangkan nasib rakyat, jika orientasi jabatannya hanya untuk mengembalikan miliaran rupiah modal politik yang dikeluarkan selama masa kampanye.
Mustahil ia bisa mengembalikan uang itu, kecuali dengan cara korupsi. Nafsu kekuasaan pasti akan menutupi mata batin Kepala Daerah tersebut sebagai pelayan masyarakat.
Peperangan hawa nafsu adalah jenis peperangan batin. Hal ini berbeda dengan peperangan face to face melawan musuh yang secara fisik nampak di depan mata. Kita bisa menembaknya dengan mudah. Tapi nafsu mengakar dalam diri kita, mengalir bersama darah dan menguasai seluruh tubuh. Karena itu, tanpa kesadaran dan kemauan sungguh-sungguh, kita pasti dikalahkan untuk diperalat hawa nafsu sekehendaknya.
Memerangi hawa nafsu berarti memerangi penyakit hati. Seperti riya`, ujub, cinta dunia, gila pangkat, gila harta, banyak bicara, banyak makan, hasad, dengki, ego, dendam, buruk sangka, mementingkan diri sendiri, pemarah, tamak, serakah, bakhil, sombong, dan sifat destruktif lainnya. Sifat-sifat itu melekat kuat dalam hati.
Satu-satunya cara membersihkannya adalah dengan memeranginya hingga ke akar. Kita perlu mencuci hati setiap detik dengan dzikrullâh tiada henti. Kalau kita malas mencucinya, maka sifat-sifat itu akan semakin kuat dan menebal pada hati kita. Pada akhirnya akan menjadi penyakit. Sebaliknya, kalau kita mencuci setiap saat, maka hati akan bersih dan jiwa akan suci.
Nafsu lebih jahat dari setan. Karena setan tak dapat mempengaruhi seseorang kalau tidak meniti di atas nafsu. Dengan kata lain, nafsu adalah ‘highway’ atau jalan bebas hambatan bagi setan. Kalau nafsu dibiarkan, akan membesar, maka semakin luaslah ‘highway’ setan untuk membunuh manusia dari dalam.
Kalau nafsu dapat diperangi, maka tertutuplah jalan setan dan tak dapat mempengaruhi jiwa kita. Allah SWT menggambarkan, “Sesungguhnya hawa nafsu itu sangat membawa pada kejahatan.” (Qs. Yûsuf [12]: 53)
Selain memerangi, jalan lain yang mesti ditempuh adalah mengendalikan hawa nafsu dengan akal sehat dan hati yang jernih. Hawa nafsu yang dikendalikan, akan berubah fungsi menjadi penggerak tingkah laku yang dapat menyuburkan lahirnya motivasi internal yang sangat kuat. Sehingga hidup akan kian lebih bermakna dan bernilai.
Dalam kondisi demikian, hawa nafsu menjadi seperti energi yang akan selalu menggerakkan mesin untuk tetap hidup dan dinamis. Layaknya rem mobil, keseimbangan itu menjadikan orang mampu menekan dorongan hawa nafsu pada saat harus ditekan. Serta dapat memberinya hak sesuai kadar yang dibutuhkan.
Karenanya, keinginan menjadi bupati, anggota DPR, orang kaya, miliarder atau konglomerat, dan lainnya adalah dorongan nafsu yang wajar. Tapi menjadi tak wajar apabila keinginan itu dituruti tanpa kendali moral yang akan menjadi pendorong bagi hawa nafsu destruktif. Ingin kaya dengan cara korupsi atau menipu, ingin menjadi pejabat dengan cara menyuap. Semua ujungnya pasti destruktif.
Pengabdi hawa nafsu akan menuruti apapun perilaku yang harus dikerjakan. Betapapun itu menjijikkan. Jika seseorang memanjakan hawa nafsu, ia dapat terjerumus pada kehidupan glamor dan hedonis. Ia pasti akan terjerumus dalam kriminalitas dan kenistaan. Terutama menistakan Allah. Na’ûdzubillâh.
Panjang Angan
Panjang angan sama dengan mencintai dunia. Orang yang terserang penyakit panjang angan, senantiasa membayangkan dirinya akan abadi di dunia. Baginya, tak ada kehidupan yang kekal, kecuali dunia.
Sikap seperti ini kemudian melahirkan manusia yang gila dunia. Dunia baginya adalah segalanya. Tak ada hidup tanpa dunia. Sikap ini sungguh membahayakan, terlebih bagi seorang muslim.
Panjang angan akan menyebabkan manusia berambisi memiliki sebanyak mungkin harta dan kekayaan. Tak peduli sumber dan caranya haram. Yang penting bisa menikmati kekayaan itu. Kalau perlu, ia akan melakukan tindakan monopoli dan oligopoli dengan cara menyingkirkan orang lain secara jahat dan licik.
Ciri lain orang yang panjang angan adalah tak pernah puas (qanâ’ah) dengan apa yang sudah dimiliki. Apabila sudah memiliki sepeda motor, maka ia berambisi memiliki mobil. Jika sudah memiliki mobil, ia ingin pesawat terbang. Begitu seterusnya.
Orang berkarakter seperti ini, senantiasa akan menjadikan benda-benda sebagai ukuran kesuksesan. Semakin banyak benda-benda yang dimiliki, semakin ia merasa sukses. Padahal sesungguhnya benda-benda itu akan membuat dirinya pikun. Mata hatinya buta. Semakin jauh dari Allah. Lalu Allah akan membinasakannya cepat ataupun lambat.
Rasulullah bersabda, “Anak cucu Adam itu bisa menjadi pikun, dan ada dua hal yang menyertainya, yakni keserakahan dan angan-angan.” (HR Muslim)
Dalam riwayat lain disebutkan: “…dan ada dua hal bersamanya yang tetap muda, yaitu keserakahan terhadap harta dan keserakahan terhadap usia.” Lalu, Rasulullah bersabda, “Golongan pertama dari umat ini selamat karena keyakinan dan zuhud. Dan golongan terakhir dari umat ini binasa karena kekikiran dan angan-angan.” (HR Ibnu Abi-Dunya)
Karena itu, tiada guna kita mengejar angan. Semakin dikejar, angan pasti akan kian menjauh, akhirnya menghilang. Mengejar angan berarti mengejar ketidakpastian. Itu sama artinya dengan menjauh dari Allah. Lebih baik, kita habiskan hari-hari dalam rangkai perjalanan hidup yang singkat ini untuk beribadah kepada Allah.
Hanya Allah yang memberikan kepastian hidup. Semakin jauh kita dari-Nya, semakin jauh pula janji kebahagiaan yang akan Dia berikan kepada kita. Terutama setelah kita hidup di akhirat kelak.
Suatu ketika, Rasulullah bertanya kepada para Sahabatnya, “Apakah kalian semua ingin masuk surga?” Para Sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau lalu bersabda, “Kalau begitu, jangan banyak angan-angan. Letakkan ajal kalian di depan mata. Dan merasa malulah kepada Allah dengan sungguh-sungguh.” (HR Ibnu Abi-Dunya)
Di sinilah pentingnya kita meneguhkan prinsip, bahwa sebetulnya semua benda-benda duniawi yang kita miliki adalah titipan Allah untuk dimanfaatkan dalam koridor kepentingan dan bermuara kepada-Nya. Ketika kita bekerja di dunia, sesungguhnya kita sedang menyiapkan diri untuk dijemput Allah. Kapan dan di manapun kita berada.
Mari berdoa sebagaimana doa Rasulullah, “Wahai Allah, aku berlindung kepada-Mu dari dunia yang dapat menghalangi kebajikan akhirat. Aku berlindung kepada-Mu dari hidup yang dapat menghalangi dari sebaik-baik kematian. Dan aku berlindung kepada-Mu dari angan-angan yang dapat menghalangi sebaik-baik amal.” (HR Ibnu Abi-Dunya)