Suami Pilihan







Belum terlalu lama saya mengenalnya, baru sekitar 3 bulan lalu semenjak saya memutuskan untuk berlangganan ojeg dengannya. Tarif ojegnya lebih murah dibanding dengan yang ditawarkan tukang ojeg lainnya. Jika yang lain meminta Rp 7000, dia hanya meminta Rp 5000 untuk pengganti jasa mengantarkanku dari stasiun Tanah Abang menuju kantorku di Slipi.

Pak Asmadi namanya, usianya sudah kepala empat, ia mengaku sudah delapan belas tahun menjalani profesinya sebagai tukang ojeg. Pertemuan yang hampir tiap hari dengannya, membuat saya tahu tentang sedikit kisah hidupnya, kadangkala saya dibuat kagum ketika darinya saya peroleh kata-kata bijak, nasehat, layaknya seorang bapak yang sedang menasehati anaknya.

Siapa menyangka kalau tukang ojeg yang hanya lulusan SLTA itu mempunyai seorang isteri yang berpangkat eselon 3 di salah satu kantor pemerintahan di Jakarta. Isterinya adalah lulusan pasca sarjana dari salah satu universita negeri di Jakarta. Ketiga anak yang dimilikinya semua juga berpendidikan sarjana, hanya Pak Asmadi sendiri yang hanya mengenyam pendidikan sampai tingkat SLTA. Dari hasil menarik ojeg itulah Pak Asmadi membiayai anak-anaknya kuliah.

Kadangkala Pak Asmadi juga mencari tambahan penghasilan lain misalnya dengan berdagang kambing ketika mendekati hari raya Idul Adha. Awalnya, saya berpikir hal ini sebagai sebuah kemustahilan, di benak ini selalu saja timbul pertanyaan ”Bagaimana mungkin Pak Asmadi seorang tukang Ojeg itu bisa memiliki seorang Isteri yang berpendidikan dan berjabatan tinggi di kantor pemerintahan?”.

Ada rasa tak percaya sampai di kemudian hari Pak Asmadi memperlihatkan pada saya foto Isterinya sedang dilantik oleh salah satu menteri.

”Ini mbak, foto isteri saya waktu dilantik oleh Pak Mentri, dan yang satunya itu foto saya sewaktu mendampinginya...” Tunjuk Pak Asmadi.

Terlihat foto seorang wanita yang sedang bersalaman dengan seorang menteri, dan sebuah foto lagi menampilkan foto bersama seluruh jajaran pejabat dengan para pasangannya, kulihat Pak Asmadi memang ada di situ dengan baju batik coklatnya. Dari wajahnya memancar senyum bahagia begitu pula dengan isterinya.

Saya sering melihat rubrik kontak jodoh di salah satu media cetak di Ibukota. Bukan karena saya berniat ingin mencari jodoh lagi, tapi hanya sekedar iseng yang benar-benar iseng. Siapa tahu ada teman yang mengiklankan diri di situ, kan bisa jadi bahan ledekanku untuknya. Salah satu contoh isi iklan perjodohan yang sering kulihat itu adalah seperti ini misalnya: Seorang wanita, 25 tahun, Sarjana, tinggi badan 160 cm, BB 43 kg, berkulit putih mulus, wajah manis, Islam, pintar mengaji, keibuan dan Pandai Memasak Mendambakan: Seorang laki-laki, perjaka tulen, minimal 26 tahun, lulusan pasca sarjana, berpenghasilan tetap (swasta/PNS), tinggi badan minimal 170 cm dengan berat badan seimbang, Islam taat, Pandai mengaji dan bersifat kebapakan.

Coba kita lihat iklan tersebut, dan perhatikanlah. Niscaya kita akan menemukan sebuah fakta bahwa seorang wanita pada umumnya menginginkan pasangan (calon suami) yang memiliki spesifikasi yang lebih baik dari spesifikasi yang dimilikinya. Baik itu dari segi fisik, tingkat pendidikan atau hal-hal kasat mata lainnya. Menurut saya hal ini sangat wajar. Karena bagaimanapun juga seorang lelaki akan menjadi pemimpin dalam sebuah rumah tangga, jadi semakin bagus kualitasnya akan semakin baik bagi keluarganya kelak. Begitu kondisi idealnya.

Kembali kepada kisah Pak Asmadi dan isterinya, saya menjadi tersadarkan bahwa ternyata tidak semua wanita melihat kualitas calon suami hanya dari kasat mata yang tampak saja. Rasa penasaran saya muncul menggelitiki hati, membuat saya secara diam-diam ingin menyelidiki apa alasan Isteri Pak Asmadi begitu bangga dan mencintai suaminya yang ”hanya” seorang tukang ojeg dan hanya berpendidikan setingkat SLTA.

Sementara isterinya adalah wanita karir yang sukses yang memiliki pendidikan dan jabatan yang tinggi. Tidak ada rasa malu padanya akan ”kesenjangan” itu. Suatu hari dalam perjalanan menuju kantor, Pak Asmadi mengajukan sebuah pertanyaan pada saya

”Mbak, tahu ngga resep saya supaya tidak pernah mengalami kecelakaan di jalan atau supaya tidak pernah kena razia polisi jalan?”

Saya pura-pura berpikir lantas menjawab ”hmm... tidak tahu pak, apa resepnya?”

”Berdzikir mbak..” jawabnya.

”Berdzikir itu mengingat kepada Allah, bisa dilakukan di mana saja, kalau kita sehabis melaksanakan sholat baik itu sholat fardhu atau shola sunnah, usahakan jangan langsung berdiri, dzikirlah terlebih dahulu.

Dzikir juga tidak hanya dilakukan setelah sholat, tapi bisa di mana saja, termasuk di jalan raya ketika mengendarai sepeda motor seperti saya ini”

”Bapak rajin ber-dzikir? ” saya bertanya untung memancing.

“Alhamdulilah mbak, setiap selesai sholat saya selalu berdzikir, bahkan dalam perjalanan saya dari rumah sampai ke stasiun saya juga selalu berdzikir, kalau tidak salah ada dalam Al-quran perintah untuk mengingat Allah dalam keadaan duduk maupun berdiri, itu artinya dalam keadaan apapun kita harusnya selalu mengingat Allah kan mbak?”

“Iya, betul pak, Berdzikir dengan mengingat Allah membuat hati kita merasa tenang dan tentram, itulah mungkin yang membuat Bapak jadi tidak pernah mengalami kecelakaan saat mengendaria sepeda motor, karena saat itu Bapak berdzikir sehingga pikiran dan hati Bapak menjadi tenang, berkendaraan pun jadi tenang “ jawabku menyimpulkan.

Ternyata dari Pak Asmadi, terdapat banyak hikmah. Saya bisa memunguti hikmah-hikmah itu untuk diri saya. Sekaligus menyadari bahwa Pak Asmadi ternyata orang yang taat beragama lagi berakhlak mulia, wajarlah jika sang isteri begitu mencintainya.

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasullullah pernah bersabda

”Jika datang kepada kalian orang laki-laki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya maka nikahkanlah dia, karena jika tidak maka akan menjadi fitnah di bumi dan juga kerusakan.” Para sahabat bertanya, ”Wahai Rasulullah, meskipun pada diri orang tersebut terdapat kekurangan?” Beliau menjawab, ”Jika ada orang laki-laki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya datang kepada kalian, maka nikahkanlah dia”

Artinya, jika kalian tidak menikahkan orang laki-laki yang taat beragama lagi berakhlak mulia meskipun tidak kaya atau tidak terhormat atau tidak kufu’, sedang kalian lebih menyukai orang laki-laki yang kaya, terhormat, lagi terpandang meskipun tidak taat beragama dan tidak berakhlak mulia, niscaya hal tersebt akan mengakibatkan kerusakan yang parah.

Mungkin akan banyak wanita yang hidup tanpa suami dan banyak pula laki-laki yan hidup tanpa isteri. Akhirnya banyak perzinaan san tersebar pula perbuatan keji. Rasulullah SAW menyebutkan akhlak bersamaan dengan agama, karena akhlak berperan sangat penting sekali dalam kehidupan rumah tangga.

Rasulullah tidak cukup hanya dengan menyebutkan agama saja, Sebab, terkadang ada orang yang taat beragama tetapi akhlaknya tidak cukup baik untuk kehidupan rumah tangga, bahkan berakhlak tercela dan berwawasan sempit serta fanatik sehingga dia akan meletakkan agama di sampingnya dan menggauli isterinya dengan akhlak yang tidak baik.

Akhirnya muncul kesan bahwa tingkah laku bururk itu disebabkan oleh agama. Padahal yang demikian itu merupakan keyakinan yang salah, karena Agama memerintahkan untuk mempergauli isteri secara baik.

Kini terjawablah sudah rasa kepenasaran saya.
Isteri Pak Asmadi ternyata benar-benar telah menjalankan sabda Rasullullah SAW tersebut. Menentukan suami pilihannya adalah seorang yang taat beragama dan berakhlak mulia meskipun tidak kaya, tidak terhormat atau tidak se kufu’ dengannya.
Satu pelajaran berharga yang bisa saya ambil darinya.