Yang menarik, lima besar film Indonesia terlaris dihuni film dengan kualitas di atas rata-rata. Tidak ada tempat bagi horor atau komedi esek-esek. Selera penonton meningkat signifikan. Kalaupun ada horor, Rumah Kentang (RK) yang menandai kembalinya Shandy Aulia di layar lebar.
Sampai artikel ini ditulis, karya Jose Poernomo mengumpulkan 367 ribu penonton. Masih main di 27 layar di Tanah Air. Banyak yang terkejut dengan sukses RK. “Penonton masih berminat ke bioskop. RK yang saya pikir sekadar horor, penjualannya baik. RK mengumpulkan penonton terbanyak di kategori horor tulen. Kuntilanak dan pocong tidak tren lagi,” demikian komentar Sunnil Samtani dari Rapi Films. Apa yang membuat RK menarik?
“Setelah menonton RK, saya sudah membayangkan jumlah penonton. Rahasia kesuksesan RK, tidak ada tokoh pocong, kuntilanak, dan lumuran darah. RK semacam adaptasi bebas film Ju On. Hantu yang muncul di film ini, anak kecil yang dulunya mengalami kejadian traumatis sampai akhirnya meregang nyawa,” ulas pengamat film Yan Widjaya ditemui Selasa (30/10).
Menegangkan tanpa adegan vulgar. Ini yang membuat RK disukai. Mayoritas penonton film ini wanita. Mereka emoh disuguhi adegan vulgar, kekerasan, darah, dan hal-hal menjijikkan. Mereka jenuh dengan pocong dan kuntilanak. Di luar faktor urban legend yang diusung, RK lebih santun. Fokus pada kekuatan cerita. Yan yakin, RK akan “tuntas” pada kisaran penonton sekitar 400 ribu.
Meski selera membaik, tidak semua film bagus diapresiasi penonton. Rayya: Cahaya Di Atas Cahaya misalnya, tersungkur di kisaran 14 ribu penonton. Padahal, biaya produksi mencapai 8 miliar. Kasus lain yang cukup unik gagalnya Mama Minta Pulsa (MMP). Judul ear catchy, tema aktual, poster didesain sangat menarik. Toh, penonton tidak bergerak dari kisaran 200 ribu. Peristiwa ini memicu para produser memutar otak lebih keras. Kisah MMP disusul tumbangnya sejumlah horor fenomenal.
Kutukan Arwah Santet mengais 150 ribuan penonton. Bangkitnya Suster Gepeng tak lebih dari 80 ribu penonton. Tali Pocong Pera-wan yang dulu menyedot 1,1 juta penonton, jilid keduanya malah belum sanggup mengumpulkan 100 ribu penonton alias 10 persen dari jilid terdahulu.
Padahal tahun lalu, Kuntilanak Kesurupan, Pocong Jumat Kliwon, serta Pocong Ngesot masih bagus. Tiga film ini masih bisa menarik masing-masing sekitar 500 ribu penonton. “Tahun depan berencana memproduksi satu film horor lagi. Jangan pocong dan kuntilanak lagilah. Penonton mulai pintar. Kita harus memberi formula berbeda kepada khalayak. Harus berani mengambil risiko. Trial and error harus ditempuh,” Sunnil mengimbau. Bukan berarti film Indonesia suram, tidak menguntungkan.
Ingat, semua bioskop jaringan 21, XXI, dan Blitz Megaplex sudah menggunakan proyektor digital. Para kreator tidak perlu repot mengonversi kamera digital ke pita seluloid. Apa untungnya menggunakan proyektor digital?
Untuk membuat 1 kopi film berformat digital, harganya hanya Rp 300.000 sampai Rp 500.000. Ini jauh lebih murah jika dibanding dengan 1 kopi film (seluloid) yang harganya mencapai Rp 12 juta. Artinya, kesempatan produser untuk menerima balik modal lebih cepat. Bayangkan, hanya dengan 150 ribu penonton, produser sudah bisa kipas-kipas dengan rupiah.
Bujet produksi film berformat digital menurut Yan bisa ditekan sampai 1 miliar. Bandingkan dengan seluloid dengan bujet standar 3 miliar. Kemudahan lain, ide cerita film Indonesia bisa didapat dengan mengadopsi novel-novel bestseller. Seperti halnya tahun ini, tahun depan film Indonesia masih diwarnai film-film adaptasi novel. “Harga novel mahal, harga copyright-nya pun sangat tinggi. Ingat, film yang diadaptasi dari novel menjanjikan penonton cukup bagus. Perahu Kertas, Hafalan Shalat Delisa, dan Negeri 5 Menara adalah contoh yang susah dibantah,” Yan memberi contoh.
Bulan depan, novel 5 Cm resmi diangkat ke layar lebar. Tampaknya, produser dari dulu selalu menyasar toko-toko buku untuk menilik apa yang menjadi bestseller. Setidaknya, para pembaca novel akan penasaran untuk melihat versi gambar hidup di bioskop. Yang perlu diperbaiki dari industri film Indonesia, kualitas skenario asli kategori drama.
Silakan Anda cek 10 film terlaris berikut ini. Adakah film drama nonadaptasi novel dalam daftar? Tidak. Kualitas film drama nonadaptasi novel sangat buruk. Ini diperparah dengan banyaknya FTV yang pemainnya persis dengan film bioskop. “Jadi, ngapain ke bioskop, keluar uang untuk nonton film yang kualitas ceritanya tidak jauh beda dengan FTV? Kadang, naskah film bioskop di bawah standar FTV,” kritik Yan.
Pembaca, inilah 10 film Indonesia berkilau tahun ini. Catatan untuk Anda, film Hafalan Shalat Delisa (rilis 20 Desember 2011-red) tetap masuk daftar karena masih beredar di bioskop hingga Februari 2012.
1. The Raid (Merantau Films) 1.844.817
2. Negeri 5 Menara (Million Pictures, KG Production) 765.425
3. Hafalan Shalat Delisa (PT Kharisma Starvision Plus) 642.695
4. Perahu Kertas (PT Kharisma Starvision Plus) 584.062
5. Soegija (Puskat Films) 459.465
6. Nenek Gayung (Movie Eight, Unlimited Production) 434.732
7. Rumah Kentang (Soraya Intercine Films) 367.724
8. Perahu Kertas 2 (PT Kharisma Starvision Plus) 364.677
9. Rumah Bekas Kuburan (Sentra Films) 279.144
10. Bangkit Dari Kubur (Mitra Pictures, BIC Production) 245.945