Abu Dzar al-Ghifari


DI Waddan, lembah yang menghubungkan Makkah dengan dunia luar, bermukim kabilah Ghifar. Mereka hidup sangat berkekurangan dan tergantung kepada pemberian kafilah saudagar Quraisy yang pulang pergi ke Syam. Tak jarang mereka merampok kafilah-kafilah yang lewat, jika permintaan mereka tak dipenuhi.
Dari sinilah Abu Dzar berasal: seorang sahabat yang bernama asli Jundub bin Junadah al-Ghifari. Sahabat Abu Dzar termasuk dari kalangan pembesar sahabat dan ahli zuhud di kalangan mereka. Beliau telah memeluk Islam sejak Rasulullah masih di Mekah.
Abu Dzar memiliki banyak keutamaan, di antaranya: pertama, Abu Dzar adalah orang pertama yang memberi salam kepada Nabi dengan salam Islam. Kedua, kejujuran tutur kata dan sifat menunaikan janjinya menyerupai Isa bin Maryam. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi bahwa Rasulullah bersabda, “Tidak pernah ada di bawah kolong langit dan di atas bumi orang yang lebih jujur dan lebih menepati janji dari Abu Dzar, mirip dengan Isa bin Maryam.” Ketiga, bahwa Abu Dzar termasuk Ahli Kitab yang lurus agamanya sebelum masuk Islam. Keempat, ia termasuk dalam kelompok pertama yang masuk Islam.
Awal Mula Keislamannya
Jundub bin Junadah, suatu kali ia datang ke tempat pemujaan. Suku Ghifar memang penyembah berhala bernama Manat. Jundub orang miskin, dan datang ke pemujaan itu untuk mempersembahkan susu. Jundub menanti. Ternyata, Manat tak kunjung meminum susu itu. Namun demikian, Jundub tetap bertahan di hadapannya.
Beberapa waktu kemudian, muncul seekor rubah yang langsung meminum susu persembahan Jundub tersebut. Sebelum pergi rubah itu mengangkat satu kakinya dan … mengencingi berhala itu. Manat tidak bereaksi apa-apa. Akhirnya Jundub tertawa geli. “Kenapa aku menyembah batu bodoh seperti ini?” katanya pada diri sendiri. “Dikencingi pun, dia tidak bereaksi apa-apa! Benar-benar bodoh!”
“Kalau begitu,” pikir pemuda itu, “Berhala yang lain pun, seperti Hubal, Latta dan lainnya, juga tidak bisa berbuat apa-apa kalau dikencingi seperti Manat.” Dalam pencariannya, Jundub akhirnya sampai pada kesimpulan: “Pasti ada sesuatu yang lebih dari semua itu yang menguasainya!”
Pada saat itulah, Jundub mendengar perihal ‘Nabi baru’ di Mekah. Kabar mengenai hal itu sudah diramalkan dalam kitab-kitab terdahulu. Para ahli agama juga sering menyebut-nyebutnya. Penasaran, Jundub mengirim saudaranya, Unais, untuk mengecek kebenaran berita itu. Unais pun melakukan perjalanan sangat jauh, ratusan kilometer, menuju Mekah. Setelah itu, dia pulang memberitahukan apa yang dilihat. Jundub lebih penasaran lagi. Karena itu, dia merasa harus membuktikan sendiri. Gambaran Unais tidak lengkap, karena ia takut mendekati Nabi baru itu!
Sampai di Mekah, Jundub tidak tahu harus pergi ke mana. Untung ada anak muda yang menyapanya dengan ramah. Bahkan kemudian mengajaknya ke rumah. Omong-omong, anak muda itu akhirnya tahu keinginan Jundub. Pemuda itu bersedia mengantarkannya bertemu Nabi baru yang ditujunya. Anak muda itu bernama Ali.
Segera setelah Jundub bertemu Nabi Muhammad, dia langsung ‘jatuh cinta’. Lalu, ia bersyahadat masuk Islam. “Rahasiakanlah dulu keislamanmu, dan kembalilah ke kampung halamanmu!” perintah Nabi.
“Demi Dzat yang jiwaku di tanganNya, aku takkan kembali sebelum meneriakkan Islam dalam Masjid!” sahut Abu Dzar. Ia membuktikan ucapannya. Keesokan harinya, ia pergi ke Ka’bah (yang waktu itu masih penuh berhala) dan berteriak, “Aku bersaksi tidak ada Ilaah selain Allah, dan Muhammad rasul Allah!”
Orang-orang Quraisy terkejut dan merah padam muka mereka melihat ‘aksi’ pemuda asing itu. Karena Abu Dzar tak henti-hentinya berteriak, mereka kemudian memukulinya sampai pingsan. Keesokan harinya, Abu Dzar berbuat yang sama. Dan orang-orang Quraisy lebih ganas memukulinya, sampai Abu Dzar pingsan lagi.
Perjalanan Hidupnya
Adz-Dzahabi mengatakan, beliau adalah salah satu Assabiqunal Awwalun (kelompok awal yang memeluk Islam). Ia termasuk lima orang pertama dalam Islam, yang kemudian kembali ke kaumnya karena perintah Nabi. Ketika Rasulullah berhijrah iapun ikut berhijrah, menetap dan berjihad bersama beliau.
Abu Dzar adalah teladan dalam kezuhudan, kejujuran, ilmu, bahkan amal perbuatan. Ia seorang yang tegas menyampaikan kebenaran. Tak sedikitpun merasa gentar terhadap celaan orang lain dalam melaksanakan kewajibannya meski harus menanggung kesulitan.
Walaupun ia berasal dari suku yang suka merampok, tetapi ia terbiasa dengan ibadah. Ia dikenal sebagai ahli tauhid dan tak pernah menyembah berhala. Bahkan beliau selalu mengejek berhala-berhala berikut penyembahnya.
Dalam Sederhana
Suatu ketika seorang laki-laki bertandang ke rumah Abu Dzar. Orang itu melayangkan pandangan ke setiap sudut rumah. Dia tidak menemukan apa-apa di sana. Lantas ia bertanya kepada Abu Dzar, “Hai Abu Dzar! Di mana kau simpan barang-barangmu?”
Jawab Abu Dzar, “Kami mempunyai rumah yang lain (di akhirat), barang-barang kami yang bagus telah kami kirimkan ke sana.”
Orang tersebut memahami maksud Abu Dzar. Lalu dia berkata pula, “Tapi bukankah kamu memerlukan juga barang-barang itu di rumah ini (di dunia)?”
“Tapi yang punya rumah (Allah) tidak membolehkan kami tinggal di sini (di dunia) selama-lamanya,” jawab Abu Dzar.
Abu Dzar dikenal sebagai “mahaguru” dalam mengajarkan prinsip-prinsip hidup sederhana. Ia sering menegur para pembesar pengumpul harta. Ia katakan, “Pemimpin dan pembesar, haruslah yang pertama kali menderita kelaparan sebelum anak buah atau rakyatnya. Sebaliknya, paling belakang menikmati kekenyangan setelah mereka!”
Jihadnya
Sosok Abu Dzar dikenal tidak pernah meninggalkan peperangan bersama Rasulullah semenjak datang ke Madinah. Kecuali, atas perintah Rasulullah sendiri. Dalam dua momen, Perang Dzatur Riqa’ dan Bani Musthaliq, beliau absen lantaran memenuhi perintah Nabi untuk menjadi amir di Madinah. Sedangkan Perang Badar, Uhud dan Khandaq memang tidak diikuti olehnya, karena Nabi memerintahkan untuk kembali ke kaumnya, menyeru kepada Islam.
Berkaitan dengan Perang Tabuk. Ketika Rasulullah telah pergi dengan para sahabat, ternyata ada orang-orang yang tidak ikut atau tertinggal. Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, Fulan telah tertinggal.” Maka Rasulullah menjawab, “Biarkan dia. Andai ia masih memiliki kebaikan maka Allah akan menggabungkan dirinya dengan kalian, dan jika ia tidak demikian maka Allah telah menyelamatkan kalian darinya.”
Salah seorang sahabat ada yang berkata, “Wahai Rasulullah, Abu Dzar telah tertinggal karena untanya lambat.” Rasulullah menjawab, “Biarkan dia. Andai ia masih memiliki kebaikan maka Allah akan menggabungkan dirinya dengan kalian, dan jika ia tidak demikian maka Allah telah menyelamatkan kalian darinya.”
Abu Dzar bertambah lambat ketika untanya tak mampu lagi mengangkat beban. Maka ia berjalan kaki membawa barang-barangnya, menyusuri jejak kaki Nabi hingga mendapati beliau. Para sahabat mengatakan, “Wahai Rasulullah, demi Allah, itu Abu Dzar.” Maka Rasulullah pun bersabda, “Semoga Allah melimpahkan rahmatNya kepada Abu Dzar…! Ia berjalan sebatang kara…meninggal sebatang kara…kelak dibangkitkan sebatang kara..!”
Wafatnya
Di masa pemerintahan Utsman bin Affan, karena ada satu dan lain sebab, Abu Dzar memutuskan untuk tinggal menyendiri jauh dari keramaian Madinah. Yang menemani kepergiannya hanya isteri dan anaknya. Maka, ia pun berwasiat kepada isteri dan anaknya itu agar keduanya yang memandikan dan mengkafaninya kalau ia meninggal. Kemudian, “Letakkanlah aku di pinggir jalan, dan katakanlah kepada orang pertama yang melewatiku bahwa ini adalah Abu Dzar, sahabat Rasulullah, tolonglah kami untuk menguburkannya.”
Tahun 32 H, sahabat mulia ini meninggal, istri dan anaknya pun melakukan apa yang ia wasiatkan.
Tak dinyana, Abdullah bin Mas’ud beserta rombongan dari Iraq lewat untuk melakukan umrah. Tiada yang mereka dapati di perjalanan kecuali jenazah di pinggir jalan yang di sampingnya ada seekor unta dan seorang anak yang sedang berdiri dan berkata, “Ini adalah Abu Dzar, sahabat Rasulullah, maka tolonglah kami untuk menguburkannya.” Maka Abdullah bin Mas’ud pun menangis dan berkata, “Sungguh telah benar ucapan Rasulullah..…Anda berjalan sebatang kara, mati sebatang kara, dan dibangkitkan kelak sebatang kara!”
Kemudian, Ibnu Mas’ud pun turun dari kendaraannya, begitu juga para sahabatnya pun menguburkannya.*

Herliawan S