Jejak-jejak Berdarah dalam Sejarah


Sejarah pernah berbisik padaku tentang Socrates yang harus meminum racun untuk menjaga kesucian moralitas.
Sejarah juga pernah berkisah tentang Muhammad bin Abdullah yang nyawanya terancam setiap saat dan harus menerima pengkhianatan yang menelan korban dari orang-orang yang tak berdosa baik dari sahabat-sahabatnya maupun dari keluarganya.
Sejarah pun berkata padaku tentang derita seorang wali Tuhan, Syihabudin Suhrawardi, yang harus terbunuh dengan fatwa-fatwa kebencian para ulama, orang-orang yang mengklaim dirinya pemegang kunci surga dan neraka.
Sejarah tak lupa bercerita tentang perjalanan bolak balik tujuh kali antara Qum dan Makkah dengan berjalan kaki oleh sang Filsuf Mulla Sadra. Perjalanan yang ketujuh sekaligus menutup perjalanan hidupnya yang diwarnai dengan hujatan kafir dan tuduhan sesat atas kebenaran yang dicapainya.
Tak jarang, sejarah merefleksikan dua sahabat yang terbunuh oleh kelompok anti revolusi. Hidup Dr. Ali Syariati dan Syahid Murtdha Muthahhari tercurahkan untuk kebangkitan masyarakat meski harus berhadapan dengan senjata-senjata SAVAK.
Sejarah tak kehilangan jejak seorang pemikir handal dari Irak, Sayyid Muhammad Baqir Sadr. Meski diukir di masa penguasa yang haus dunia dan darah, karya-karyanya membahana serta menembus dinding-dinding zaman. Dengan keyakinan yang teguh, dia memimpin oposisi terhadap pemerintahan yang bengis meskipun dirinya harus berakhir di tiang gantung.
Mekipun sejarah revolusi bersimbah darah, namun senantiasa segar sepanjang masa. Kepada generasi setelahnya darah yang segar itu tak henti-hentinya menjelma sebagai pesan kebangkitan.

Edi Syarif