Sekelumit tentang Bulan Sura dalam Pandangan Jawa


Salah satu bulan yang dianggap sakralbagiorang Jawa adalah bulan Sura. Secara historis 1 Sura khususnya dalam bulan Sura umumnya merupakan bagian yang tidak dipisahkan dari sistem nilai dan keyakinan orang Jawa, terutama pandangan sebagian besar orang Jawa terdapat sifat wingit dan sakral pada bulan Sura. Ada keyakinana bahwa bulan Sura sebagai bulan introspeksi diri menjadi pantangan untuk menyelenggarakan hajat seperti perkawinan, khitanan dan kegiatan lain yang berkaitan dengan siklus kehidupan. Gejala ini berlaku bagi sebagian besar orang Jawa yang masih kental dengan budaya tradisi, sedangkan bagi orang Jawa yang memiliki keyakinan agama Islam yang kuat atau kalangan santri, bulan Sura dianggap sama dengan bulan yang lain. Malam 1 Sura dalam kalender tahun baru Jawa atau 1 Muharram dalam kalender tahun baru Islam memiliki makna spiritual sebagai perwujudan perubahan waktu yang diyakini akan berdampak pada kehidupan manusia. Oleh karena itu, menurut pandangan hidup orang Jawa saat-saat terjadinya perubahan tahun baru tersebut, diperlukan suatu laku ritual yang berupaintropeksi diri dalam menyiasati hidup. Laku ritual yang dimaksud diekspresikan dengan berbagai cara misalnya, melihat pertunjukan wayang yang dipentaskan untuk menyambut tahun Jawa 1 Sura, dan peletakan sesaji serta tirakatan di tempat-tempat tertentu yang dianggap keramat.
Dalam pandangan orang Jawa, Tahun baru Jawa merupakan bulan yang dianggap keramat. Menjelang pergantian, terutama saat malam menjelang pergantian Tahun baru Jawa 1 Sura. Orang Jawa memandang nilai-nilai spiritual dan mistik dalam pergantian tahun baru Jawa, sebagai salah satu acuan dalam mengapai kehidupan. Malam menjelang tanggal 1 Sura, oleh masyarakat Jawa diyakini sebagai waktu yang tepat untuk menjalankan ritual agar mendapatkan keselamatan. Ketidakpastian hidup merupakan dasar pertimbangan manusia untuk senantiasa mawas diri dan seraya memohon perlindungan atau pertolongan kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui caranya sendiri-sendiri yang bersifat spiritual. Laku spiritual yaitu berupa kegiatan tirakat, dilakukan secara individual atau secara kelompok atau masal. Gejala budaya ritual merupakan suatu pandangan yang unik dan menarik, karena hampir setiap orang pada malam menjelang pergantian Tahun baru Jawa atau tanggal 1 Sura tumpah ruah keluar rumah mendatangi tempat-tempat tertentu yang dianggap keramat.
Secara historis 1 Sura merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sistem nilai dan keyakinan orang Jawa, terutama pandangan sebagian besar orang Jawa terhadap sifat wingit dan sakral pada bulan Sura. Terdapat keyakinan bahwa bulan Sura sebagai bulan intropeksi diri menjadi pantangan untuk menyelenggarakan hajat seperti perkawinan, khitanan dan kegiatan lain yang berkaitan dengan upacara siklus kehidupan.
Berbicara mengenai Sura, maka hal tersebut tidak akan terlepas dari masa Sultan Agung tentang perubahan kalender. Bermula pada adanya pengaruh kontrol dari Kraton yang kuat, sehingga hal itu melatarbelakangi revolusioner Sultan Agung dalam upayanya mengubah sistem kalender Saka (perpaduan Jawa asli dengan Hindu) menjadi kalender Jawa yang merupakan perpaduan kalender Saka dan kalender Hijriah (Islam). Perubahan sistem kalender tersebut terjadi pada tanggal 1 Sura tahun Alip 1555, tepat pada tanggal 1 Muharram tahun 1043 Hijriah, atau tanggal 8 Juli tahun Masehi dan harinya adalah pada Jum’at Legi. Tindakan Sultan Agung dapat dikatakan revolusioner, karena dalam perhitungan kalendernya berbeda dengan tahun Saka yang sampai waktu itu dipakai oleh masyarakat Jawa. Kalender Saka dengan dasar solair, sedang kalender Jawa Sultan Agung berdasarkan lunair seperti sistem Kalender Hijriah. Nama- nama bulan kelender Sultan Agung berbeda dengan nama bulan kelender Hijriah begitu juga jumlah hari dan umurnya, berikut perbedaan dari kedua kalender tersebut.
Dalam pandangan orang Jawa, tahun baru Jawa (Sura), merupakan bulan yang dianggap keramat, sehingga orang Jawa mempunyai keyakinan bahwa bulan Sura merupakan dimensi waktu yang kurang baik untuk melakukan pekerjaan. Sebaliknya, orang Jawa dianjurkan untuk melakukan laku prihatin, berupa laku ritual tirakatan dengan tidak tidur semalan suntuk, peletakan sesaji, serta melakukan ziarah ketempat-tempat yang dipercaya mempunyai daya supranatural yang kuat, terutama saat malam menjelang peringatan tahun baru Jawa 1 Sura.


mas Ishar