Aceh Menjadi Pusat Lada Dunia


Malacca

”Sekarang susah mencari orang Aceh asli. Lihat saja wajah orang Aceh. Ada yang mirip Arab, Keling, Banglades.” -- Rusdi Sufi

GELOMBANG kedatangan orang-orang India ke pesisir Aceh memuncak setelah kejatuhan Kesultanan Malaka ke Portugis pada 1511. Malaka saat itu merupakan pelabuhan utama bagi kapal-kapal India, Arab, China, dan Melayu. Petualang Portugis, Tome Pires (1468-1540), menyatakan; 

”Siapa pun yang menguasai Malaka dapat mencekik mati Venesia. Mulai dari Malaka, Malaka sampai ke China, China sampai ke Maluku, Maluku sampai ke Jawa, Jawa sampai ke Malaka dan Sumatera berada di dalam kekuasaannya.”

Namun, pernyataan Tome Pires tidak sepenuhnya tepat. Kejatuhan Malaka ternyata mendorong terbentuknya Kesultanan Aceh. 

”Kesultanan Aceh yang tercipta oleh penaklukan Sultan Ali Mughayat Syah atas seluruh daerah pantai utara (1520-1524) pada dasarnya adalah permulaan baru yang muncul karena intervensi Portugis yang tidak dapat diterima itu,” tulis Reid.

Sejak terbentuknya kesultanan baru, Aceh berkembang menjadi pusat lada dunia. Para pedagang yang semula berlabuh ke Malaka memilih berdagang ke Aceh dan kemudian ke Banten. Dengan cepat, Aceh berhasil memperluas kebun lada di Sumatera dan menemukan jalur pengapalan lada langsung ke Laut Merah dengan menghindari wilayah pantai barat India yang dikuasai Portugis. ”Pada tahun 1550-an Aceh memasok sekitar separuh kebutuhan lada Eropa melalui jalur ini,” tulis Reid.

Banda Aceh yang menjadi pusat kekuasaan Kesultanan Aceh semakin banyak dihuni pendatang dari ”Negeri Atas Angin”, khususnya dari India. Mereka membangun koloni, sebagian kawin dan melebur dengan orang Aceh. 

”Sekarang susah mencari orang Aceh asli. Lihat saja wajah orang Aceh. Ada yang mirip Arab, Keling, Banglades,” kata Rusdi Sufi. ”Di Aceh juga ada beberapa Kampung Keling yang jejaknya masih ada. Ini menandakan mereka pernah membangun koloni.”

Mengutip catatan pelaut Inggris, James Lancaster, yang berkunjung ke Aceh pada 5 Juni 1602, Dennys Lombard (1981) menyimpulkan bahwa bangsa India mendominasi perdagangan Aceh pada era itu. Saat Lancaster membuang sauh di Aceh, dia melihat 16 sampai 18 kapal, ”beberapa dari Gujarat, Bengala, Kalkutta (Malabar), sebagian dari Pegu (Myanmar).” 

Selain itu, menurut Lombard, Aceh juga mempunyai hubungan dengan pedagang Sri Lanka dan Koromandel (Tamil). Beragamnya subetnis India yang berdagang ke Aceh ini agaknya memengaruhi banyaknya variasi kari di Aceh dewasa ini.

Selain berdagang, menurut catatan pelaut Inggris, William Dampier yang berkunjung ke Aceh pada 1688, orang Tamil didatangkan ke Aceh sebagai budak untuk bekerja di pertanian. ”Budak dibawa orang Inggris dan Denmark beberapa waktu yang lalu dari pantai Koromandel (Tamil) ketika ada kelaparan di Aceh... Merekalah yang pertama-tama memperkenalkan jenis pertanian itu kepada orang Aceh (pesisir),” tulis Dampier dalam Supplément du voyage autour du monde (1723).

Para pedagang India ini, lanjut Lombard, tetap menjalin perdagangan dengan Aceh hingga abad ke-18 ketika kejayaan Kesultanan Aceh sudah merosot. 

”Meskipun kota itu tidak lagi merupakan gudang barang dagangan dari Timur, perdagangannya dengan orang-orang Hindustan masih terjalin. Mereka menyediakan kain katun dan sebagai gantinya menerima serbuk emas, kayu sapang, buah pinang, (nilam), lada, belerang, kapur, dan kemenyan,” tulis Lombard.

Kegemilangan Kesultanan Aceh terus merosot seiring menguatnya Belanda di Nusantara. Sejak kedatangan Portugis di Malaka yang disusul Spanyol, Inggris, dan Belanda, perburuan rempah kian lekat dengan peperangan. Aceh pun berada dalam pusaran perang panjang dan berdarah. Perang Aceh melawan Belanda dimulai dari 1873 hingga 1904. Ini merupakan perang terpanjang di Nusantara. 

Bahkan, setelah Kesultanan Aceh menyerah pada 1904, perlawanan rakyat Aceh dengan sistem gerilya berlanjut. Aceh belum sepenuhnya ditaklukkan Belanda ketika gerakan kemerdekaan Indonesia menggelora.

Setelah kemerdekaan Indonesia, perang masih terjadi di Aceh. Pada 1953, Daud Beureuh menggelorakan perlawanan DI TII yang baru berakhir pada 1962. Empat belas tahun kemudian, giliran Hasan Tiro mendeklarasikan kemerdekaan Aceh Sumatera. Aceh kembali dibelit konflik berdarah hingga penandatanganan damai pada 15 Agustus 2005.

(Ahmad Arif, Budi Suwarna, Aryo Wisanggeni Gentong)