Penghianatan Pembentukan Kerajaan Konawe Oleh Belanda Terhadap NKRI Tanggal 19 Maret 1948


RUNTUHNYA KERAJAAN PADANGGUNI

A. TOHAMBA ATAU LAKIDENDE
1. Sistim Pemerintahan Rebi Sangia Inato Kerajaan Kinawo
Sesuai catatan sumber sejarah sebagai mana termuat dalam kitab Bunduwula disebutkan bahwa kemunduran kerajaan padangguni setelah “Raja Bunduwula I” Wafat sekitar tahun 1649 M. kemudian digantikan putrinya bernama “Weli Mondi Anawai Ndo Padangguni III” sebagai “Bunduwula II”(Ratu) untuk menjalankan pemerintahan Padangguni dibantu suaminya bernama “Rebi Sangia Inato” Rebi adalah orang yang bijaksana dan ahli Hukum Adat, yang dibantu Perdana Menteri yang bernama “Kalenggo”. Kemudian kerajaan Padangguni ditenggelamkan namanya atas tekanan Hindia Belanda dan dimunculkan Kerajaan baru (Kerajaan Bonea) yang diberinama “Kerajaan Kinawo/Konawe”. Dibawah pengaruh Belanda yang selanjutnya mulai merasuki sistem Pemerintahaan “Kerajaan Padangguni” dan mengganti namanya menjadi “Kerajaan Kinawo”. dibentuk Belanda tanggal 19 Maret 1948.
Walaupun tidak disadari bahwa sistem politik yang dianut belanda adalah sistem politik adu-domba (devide et impera) dengan cara memecah belah kerajaan-kerajaan sekitar dan berusaha merangkul raja-raja di sekitarnya antara lain kesultanan Buton. Padahal hanya merupakan taktik belaka guna memperkuat kekuasaan belanda diwilayahnya “Kerajaan Kinawo” hubungan merangkul ini menggunakan taktik Ekonomi Pasar. Maka terjadilah tukar menukar hasil pertanian seperti beras dari konawe di tukar dengan kain sarung, gong, kendi dan barang-barang pecah belah.
Dalam catatan sumber informasi sejarah sebagaimana tertulis dalam kitab Bunduwula disebutkan bahwa Rebi atau Tebao/ Sangia Inato” mempunyai 7 orang isteri dan 33 orang putra dan putri. Setelah wafatnya Rebi/Tebao sekitar abad ke-17 bertepatan penjajahan belanda diwilayah Konawe (Kini Sulawesi Tenggara) semakin meningkat, dan kesepakatan ini dipergunakan ”maago” yang sebenarnya bukan putra mahkota kerajaan padangguni merebut kekuasaan dan mengankat dirinya sendiri sebagai “Raja/Mokole Kinawo” sejak itulah “Maranai “ sebagi Putra Mahkota pewaris kerajaan Padangguni Inea Sinumo Wuta Mbinotiso (Daerah Istimewa) Kendari tersingkirkan dan selanjutnya “Maago” mengangkat ”Kalenggo” sebagai Perdana Menteri.
Sumber informasi lain menerangkan bahwa “maago” tidak merebut Tahta Kerajaan Padangguni namun tetap memberikan kepada Putra Mahkota yang bernama “Maranai” untuk menjadi Raja/Mokole Kinawo. namun sebagian orang tua mengatakan pemberian jabatan tesebut kepada “ Putra Mahkota Maranai” hanya sebuah taktik belaka. Hal ini terlihat tidak disertai penyerahan Mustika Mata Oleo (Merah Delima) milik kerajaan Padangguni kepada Maranai. Akibatnya Maranai menolak untuk menjadi Raja/Mokole Kinawo dan selanjutnya taktik ini sangat menguntungkan Maago untuk menduduki Singgah Sana sebagai Raja/Mokole Kinawo.
Penobatan Maago menjadi Raja Kinawo Menimbulkan pemberontakan dalam negri. “surumaindo sebagai Raja Latawa” dan “Kerajaan Wawolesea” wilayah Utara meminta bantua “Raja Matano” untuk membantu berperang melawan “maago” yang bertujuan untuk melepaskan diri dari “Kerajaan Kinawo” yang berada dibawah pengaruh kekuasaan Belanda. namun Maago sebagai Raja Kinawo bersama para pejabat Kerajaan Kinawo mengadakan sidang Istimewa dan mengambil keputusan :
(a) Kesultanan Kerajaan Kinawo harus tetap dipertahankan dengan menaklukan Surumaindo Mokole Lawata
(b) Menugaskan “Kapita Ana Molepo (Tandala)” memimpin dan sejumlah 9000 personil pasukan tempur dikerahkan untuk menyerbu “Kerajaan Lawata”
Peperangan ini berlangsung 7 hari 7 malam, Kerajaan Lawata dapat ditaklukan sehingga Lawata takluk dan dipaksa mengakui kembali kepepimpinan “Maago” sebagai “ Mokole Kinawo” politik pemerintahan Maago tidak berbeda dengan ayahnya “Rebi Sangia Inato” yang selalu menjalin persahabatan dengan Raja-raja daerah tetangganya kecuali “Kerajaan Luwu” yang beberapa kali melancarkan serangan ke Kerajaan Kinawo akan tetapi selalu menemui kegagalan.
Menurut sumber sejarah “Kitab Taenango dan Kitab Bunduwula” disebutkan bahwa Mokole Maago mempunyai bbeberapa istri antara lain “ Elundoto Buri” keturunan HALUOLEO. Dan yang kedua “Wetaninda” dari hasil perkawinan dengan “Wetaninda” lahirlah seorang putra yang bernama “LAKIDENDE” setelah “Maago” wafat ia diberi gelar “ Sangia Mbi Nauti” atau dewa dipayungi Maago wafat sekitar abad ke-18 M. maka LAKIDENDE mengangkat dirinya sebagai “Mokole Kinawo” yang seharusnya penggantinya adalah dari keturunan “Padangguni Inea Sinumo Wuta Mbinotiso” yakni keturunai MARANAI bernama “TOHAMBA”
Tetapi sebelum Mokole Maago mengangkat “Sule Mandara Kalenggo” telah mengangkat pula. Kemudian digantikan anaknya “Lata Lambe” kesempatan ini di manfaatkan Lata Lambe mengundang para Dewan Kabinet Kerajaan Kinawo untuk memusyawarahkan penggantian “Mokole Kinawo” dalam keputusan musyawarah ditetapkan bahwa Mahkota Kerajaan Kinawo harus diserahkan kepada Putra Mahkota Kerajaan Padangguni yaitu “TOHAMBA”.
Namun TOHAMBA sebagai Putra Mahkota yang anti bekerja sama dengan kaum penjajah Belanda menolak dilantik sebagai Raja Kinawo/Mokole Kinawo. Selanjutnya mahkota Kerajaan Kinawo dibawa ke “Rano Meeto” dan diserahkan kepada “Tebau”. Namun Tebau menolak karna merasa dirinya bukan Putra Mahkota sebagai ahli waris Kerajaan Padangguni yang berhak. Lagi pula Tebau tidak mau berkerja sama dengan kaum Belanda akhirnya Mahkota Kerajaan Kinawo dalam musyawarah ditetapkan dalam musyawarah diserahkan kepada LAKI DENDE PutraMaago.
2. Siwole Mbatohu bercorak Belanda
Bahwa untuk meyakinkan masyarakat Kerajaan Padangguni yang beragama Hindu-Buddha, kaum penjajah Belanda berkerja sama dengan para pejabat Kerajaan Kinawo merubah Siwole Mbatohu yakni ajaran Hindu-Buddha (Dayani Bodisatwa/sekarang ini bernama Podmanani Awalokiteswara atau Awalokita) menjadi ajaran pejabat-pejabat Kerajaan Kinawo yang harus dihormati, disembah dan diagungkan sebagai dewa seperti :
(a) Tambo Loso Ano Oleo, Konuwa, Nggonaia, Sapati Rano Meeto (SIRUMBA)
(b) Tambo Tepuli Ano Oleo, Sabandara Wowala Torna Ore-ore Mebubu (BUBURANDA)
(c) Barata Ihana, Ponggawa Iuna (PALUWU)
(d) Barata Imoeri, Inowa Asaki Lambuia (IMBANAHI)
(1) Wilayah Kerajaan Kinawo dan Struktur Organisasinya.
Wilayah Kerajaan Kinawo sesuai informasi Sejarah terdiri dari
a. Wonua (Kerajaan yang dikepalai oleh seorang Raja atau Mokole
b. Tobu (Daerah di kepalai oleh Puutobu)
c. Napo (Desa) yang dikeplai oleh seorang Toonornotuo
(2) Dewan Kerajaan :
Bahwa Kerajaan Kinawo Dalam Menyusun Struktur Organisasinya Pemerintahannya dibentuk Dewan Kerajaan yang terdiri dari :
a. Raja/Mokole selaku Kepala Negara
b. Sulemandra selaku Perdana Menteri
c. Kotu Bitara selaku Mahkama Agung
d. Puutobu selaku urusan Kerajaan
e. Tutuwi Motaha selaku Panglima Kerajaan
f. Inea Sinumo selaku Raja Muda Putra Mahkota
(3) Pitu Dula Batu Kerajaan Kinawo :
Bahwa Keajaan Kinawo dalam menjalankan Administrasi Pemerintahan Kerajaan Kinawo mmembentuk Pitu Dula Batu (Tujuh Pejabat Penting) Kerajaan Kinawo antara lain :
(a) Sapati berkedudukan di Ranomeeto
(b) Sabandara berkedudukan di Wowa Latorna
(c) Ponggawa berkedudukan di Tongauna
(d) Inowa berkedudukan di Tongauna
(e) Tusa Wuta berkedudukan di Kasupute
(f) Kapita Anamolepo Panglima Angkatan Darat berkedudukan di Uepai
(g) Kapita Bondoala Panglima Angkatan laut berkedudukan di Puusambalu/Sambara
B. MUNCULNYA KERAJAAN LAIWOI
1. Penangkapan Raja Bunduwula X
Raja Bunduwula X ditangkap dan dipenjarakan di Sombau Opu (Makassar) Penangkapan tersebut juga dilakukan terhadap beberapa pengikut Raja Beangga antara lain :
(1) Tarna Laki Makati dari Motaha
(2) Laso Leo Osu, Mondoro
(3) Watu Kila, Tongauna
(4) Samu Ale, Wawotobi
(5) Wili Mohitu, Toui Lapo Tende
(6) Lapadi, Diwindo
(7) Anakia Andina Alina, Tongauna
(8) Anakia Weri Bundu
(9) Lambo Asa
(10) Langgolo
(11) Mata Sala
(12) Maha Radi
(13) Sinda Liwu
(14) Lata Niambo
(15) Lamangga
(16) Laso Leo, Osu Mondoro
(17) Anakia Ndina Tie Late
(18) Anakia Ndina Wera Ina Sawa
(19) Tarna Laki Larambe, Lalindu
Bahwa sesuai sumber sejarah sebagaimana termuat dalam kitab Taenango, disebutkan bahwa Kerajaan Kinawo memiliki hubungan kerja sama dengan Belanda yang sangat diharapkan dapat menguasai dan mempersatukan raja-raja/Mokole anggota persekutuan Kerajaan Padangguni. Sebagai sekutu kaum penjajah Belanda dalam usahanya mempertahankan kekuasaannya di wilayah kekuasaan Padangguni yang telah berhasil dilumpuhkan, ternyata Kerajaan Kinawo tidak berhasil memenuhi harapan kaum penjajah Belanda.
Akhirnya belanda menggunakan taktik politiknya dengan cara menggantikan nama “Kerajaan Kinawo” menjadi nama “Kerajaan Laiwoi” tanggal 19 maret 1948 dengan “Rajanya/Mokole Tekaka”. Kejadian ini berawal sejak Raja Maago wafat dan selanjutnya digantikan anaknya Lakidende dan wafat sekitar abad ke-18.
Kemudian setelah Lakidende mangkat yang melanjutkan pemerintahan Kinawo adalah Lata Lambe namun Lata lambe tetap menyadari kedudukannya hanya sebagai Perdana Mentri oleh karena itu Pusat pemerintahan Kinawo sudah pindah di Pondidaha.
Karena itu Komali (Istana) tidak mendapat perawatan dan akhirnya rusak dan tidak meninggalkan bekas pemerintahan “Latalambe” sangat lama sehingga diberi gelar “Seimbe Pondidaha”.
Pemerintahan “Sule Mandara Saranani” kurang lebih abad 1901/1904, karena “Lata lambe” mangkat yang digantikan putranya “Saranani” kemudian dibantu “Pagala Ponggawa Tongaun”
“Saranani” mangkat tahun 1904 dan diberi gelar Tundu Oluto karena peti jenazahnya (Soronga) terbakar sepotong (Budaya Hindu). Dengan wafatnya Lakidende. Tebau “Sapati Rano Meeto” sudah menganggap bahwa Ranomeeto sudah lepas dari Kerajaan Kinawo. Lagi-lagi dengan masalahnya Belanda diadakan perjanjian pada tahun 1858 yang ditanda tangani oleh “Lamangu” sebagai “Raja Mokole Laiwoi”. Namun Kinawo sebagai Kerajaan orang Tolaki ditenggelamkan karna tidak diharapkan lagi kaum penjajah Hindia-Belanda kemudian diganti kemudian diganti dengan nama Kerajaan Laiwoi. Hubungan pertama bangsawan-bangsawan, orang Tolaki dengan Belanda diantaranya Ranomeeto dan Sambara.
Disinilah Belanda mengambil kesempatan mempermaikan siasat adu dumba yang dibantu oleh “Tuan Haji Tata dan Lasamana dari Jawa” sebagai kaki tangannya. Hindia-Belanda mempengaruhi dan mengadu domba bangsawan/Anakia suku Tolaki guna mempertahankan kekuasaannya di Sulawesi Tenggara.
Beberapa pahlawan/pejuang Kerajaan Padangguni yang masih setia mempertahankan tanah leluhurnya Padangguni Outa Puasa Lembui Lenggo Baho Wuta Pudato Ano Ipo Mokole Ano Bunduwula I Sangia Wonua Sorume Mokole Padangguni Inea Sinumo Wuta Mbinotiso. Totongano Wonua (Raja Pusat Negri) dengan segala cara mereka tetap berjuang berperang melawan kaum penjajah Hindia-Belanda.
Riwayat Perjuangan para pejuang suku Tolaki tersebut dalam mempertahankan tanah air tercinta adalah sebagai warisan leluhur Padangguni Owuta Puasa Lembui Lenggo Baho. Mereka telah berjuang berperang mengusir kaum penjajah Hindia-Belanda sekalipun hanya menggunakan peralatan senjata tradisional dalam menghadapi persenjataan Belanda yang jauh lebihLengkap dan modern namun dengan semangat membara demi tanah leluhur dan tanah tumpah darah warisan adat mereka telah berperang antara hidup dan mati.
Kerajaan Kinawo telah menyadari kekeliruannya menjadi sekutu kaum penjajah yang berakhir hanya sebagai tipu muslihat menuju kehancurannya sendiri. Akhirnya mereka menyusun pertahanan-pertahanan untuk menghadapi pasukan Belanda walaupun sudah terlabat namun kesadaran itulah yang mengembalikan meraka kepada kesetiaan membela tanah leluhur.
Untuk menghadapi pasukan-pasukan Belanda maka Watu Kila Ponggawa Tongauna pengikut setia Kerajaan Padangguni yang dibantu Tama Laki Samuale (Sule Wata Wawatobi), TamaLaki Wulu Mohito (Puu Tobu Tuoy), seorang pemuda Tama Laki Ndonia Lapo Tende, mereka bersatu padu dengan semangat membara menghadang pasukan Belanda tahun 1907, dan dilanjutkan peperangan sampai tahun 1908, namun upaya mereka dapat dipatahkan oleh serangan Belanda.
Kemudian dilanjutkan lagi peperangan pada tahun 1910 yang dipimpin Tama Laki Lapadi bertempat di Windo, namun sangat disayangkan didalam pertempuran mereka dikhianati kembali oleh pejuang orang Tolaki, Kerajaan Kinawo yang masih setia kepada kaum penjajah Belanda, akhirnya pasukan Lapati terkepung pasukan Belanda, kemudian Lapati ditangkap dan ditahan Belanda namun dia masih bisa Meloloskan diri.
Pertempuran selanjutnya dilakukan di Laho Tutu Puudai. Bunggu Osu, Tarna Laki Lambo Asa dalam pertempuran tersebut gugur dimedan perang kawan-kawan seperjuangan Lambo Asa yang dipinpin oleh Tamalaki Watu Kila dan Tamalaki Samuale, hingga dapat tekanan dari Belanda dan akhirnya dalam pertempuran mereka tertangkap. Tama Laki Watu Kila dan Tama Laki Samuale dibuang dan dipenjarakan di Sawa Lunto (Sumatera) tahun 1912. Tama Laki Lamangga pun telah gugur dalam pertempuran, karena dibunuh dan dikhianati oleh teman seperjuangannya yang ternyata adalah orang Tolaki yang setia kepada Kerajaan Kinawo sekutu Belanda. Sedangkan Tama Laki Laso Leo bertahan di Osu Mondoro, Anakia Ndina Tie Lete bertahan di Baito. Dalam pertempuran tahun 1914, pihak Belanda sangat menderita kerugian besar namun mereka dapat didesak dan teerkepung oleh Belanda dan ditangkap kemudian dibuang dan dipenjarakan di Paya Kumbu (Sumatera) dan Nusa Kembangan (Jawa).
Sedangakan Anakia Polo Nui meninggal tahun 1916 karena terkena peluru menderita sakit luka-luka yang menembus badannya. Pelawanan keras yang dilancarkan putra-putri suku Tolaki semakin gencar terhadap kaum penjajah Hindia-Belanda, hingga akhirnya kaum Hindia-Belanda melakuka taktik busuk, mengajak berunding dengan Bangsawan Tolaki yang terdiri dari :
a. Pihak Belanda
b. Pihak Kerajaan Laiwoi yang diwakili Sao-sao Lato Mbili dan Raka Wula
2. Hubungan Kerajaan Laiwoi dengan Hindia-Belanda
Kerajaan Laiwoi merupakan kerajaan yang memiliki persekutuan dengan Hindia-Belanda, maka dalam perundingan itu Belanda tidak mengalami kesulitan untuk membuat surat perjanjian yang ditanda tangani oleh Sao-sao dengan pihak Belanda. Isi dari perjanjian tersebut adalah pemaksaan para pemimpin-pemimpin atau raja-raja wilayah lain, angguta persekutuan kerajaan Padangguni untuk mengakui pengangkatan Sao-sao sebagai Raja/Mokole Laiwoi tahun 1918, dan kerajaan Kinawo yang dianggap Hindi-Belanda tidak lagi menguntungkan baginya maka Kerajaan Kinawo ditenggelamkan.
Setelah Sao-sao diangkat sebagai Raja Belanda timbul kembali perlawanan orang Tolaki di Wuura, Motaha yang dipimpin Tamalaki Laule Wulu, pemberontakan Tamalaki Laule Wulu dapat ditekan oleh raja Sao-sao yang dibantu kaki tangan Hindia-Belanda dari Jawa tuan Haji Tata. Dalam pemerintahan Raja Sao-sao tahun 1918 s/d 1928 Kerajaan Kinawo di Unaaha diganti namanya menjadi Kerajaan Laiwoi dan dipindahkan di Lepo-Lepo dan setelah Raja Sao-sao mangkat tahun 1928 ia digantikan putranya yang bernama Tekaka sebagai Raja Vanla Laiwoi atas dukungan Hindia-Belanda Pelantikannya dilakukan tahun 1934, bertempat dimakam Lakidende Sangia Nggi Noburu di Unaaha.
Pemerintahan Tekaka Raja Laiwoi di bagi 7 (Tujuh) Wilayah dan didukung Hindia-Belanda, adapun wilayah kekuasaannya terdiri dari :
1. Ranomeeto 5. Wawonii
2. Kinawo 6. Wiwirano
3. Lasolo 7. Palangga
4. Andoolo
Setiap wilayah masing-masing dipimpin oleh Anakia (Kepala Distrik) Karajaan Laiwoi dari 7 (Tujuh) wilayah dibagi lagi menjadi 19 Onder Distrik. Sapati Ranometo dan Kapita Kinawo keduanya mendampingi Raja Tekaka Tugas Pemerintahan di tiap-tiap kampung dibantu wakil-wakil kepala kampung dan Sarea.
Fungsi Puutobu, Toono Motuo, Pembina masyarakat menurut tradisi Kerajaan Kinawo dengan adanya pelarangan membicarakan soal silsilah keturunan dan adat istiadat Kerajaan Padangguni maka masalah ke-turunan silsilah Anakia, Mokole atau Raja yang sebenarnya dihilangkan yang bertujuan melindungi harkat dan martabat Raja atau Mokole atau pembesar Kerajaan boneka Hindia Belanda.
Setelah penyerahan kedaulatan Republik Indonesia tanggal 27 Desember 1949 Pemerintahan Boneka Hindia Belanda masih berlangsung di wilayah Kinawo, sesudah RIS (Republik Indonesia Serikat), Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 Negara Kesatuan Republik Indonesia kembali kepada UUD 1945 maka “Kandai atau Kendari” ditetapkan sebagai Daerah Tingkat II “tanggal 2 Maret 1960” dengan Kepala Daerah Pertama ABDULLAH SILONDAE yang selanjutnya merangkap sebagai ketua DPRD-GR Daerah Tingkat II Kendari, setelah sebelumnya pada tahun 1951 van Laiwoi di rubah menjadi Swa Praja Laiwoi yang susunan pemerintahannya terdiri dari :
1. Mokole atau Raja adalah Tekaka
2. Sulemandara atau Perdana Mentri Saranani
3. Sapati adalah RONGA
4. Ponggawa adalah Bunggasi
Struktur pemerintahan ini masih merupakan boneka pemerintahan Hindia Belanda dalam upayanya mempertahankan kekuasaannya di Indonesia khususnya di wilayah Kinawo.
Walaupun saat ini Kekuasaan Feodalisme Hindia-Belanda di Indonesia telah tiada, namun pekembangan anak cucu penguasa pejabat raja-raja faham feodalisme di seluruh jaringan struktur pejabat pemerintah daerah sehingga posisi pemerintahan dengan posisi rakyat adalah Tuan Mokole/Raja dengan rakyat yang diperintah, bukan sebagai pelayan rakyat.
Padahal rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi yang seharusnya dilayani pemerintah, akhirnya pembangunan di segala bidang yang diharapkan masyarakat Sulawesi Tenggara seharusnya dapat dinikmati setelah 62 tahun merdeka, ternyata masih jauh dari kenyataan.
3. Masa Pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) Tahun 1951-1965
Bahwa Kerajaan Padangguni merupakan salah satu Kerajaaan di Indonesia yang anti penjajahan pada saat kemerdekaan RI telah di capai. Yaitu tanggal 17 Agustus 1945 dan merupakan hari kebahagiaan bagi seluruh Bangsa Indonesia dan tebebaskan dari segala bentuk penindasan kaum penjajah namun kebahagiaan itu merupakan angan-angan belaka yang diteruskan oleh timbulnya pemberontakan DI/TII Sulawesi Tenggara tahun 1951-1965 yang ingin mendirikan Negara Islam bagian Timur. Akibatnya masyarakat Kerajaan Padangguni kembali tertindas, dibumi hanguskan , hartanya dirampas, bahkan
Nyawanya ikut melayang apabila tidak bersedia mengikuti kehendak kaum pemberontak pimpinan Kahar Muzakkar yang bergeliria masuk ke hutan menjadi pemberontak.
Keadaan inilah yang nmenghancurkan seluruh sandi-sandi kehidupan Kerajaan Padangguni. Untuk mengatasi agresi pemerintahan DI/TII telah bangkit para pejuang Kerajaan Padangguni untuk melawan agresi tersebut yang dipimpin oleh Panglima Perang Kerajaan Padangguni seperti :
a. Panglima Perang Tambi Zulkarnain
b. Panglima Perang Hada Asi
c. Panglima Perang Sikuti
d. Panglima Perang Laroko
e. Panglima Perang LAMBAUTA
Atas kerja sama masyarakat Kerajaan Padangguni dan para panglimanya bersama TNI telah berhasil menumpas pemberontakan DI/TII dan Kahar Muzakkar tertembak mati di Asera.

Abdul Aziz R