Kartini: Kesadaran Spiritual dan Sosial


Habis Gelap Terbitlah Terang, terjemahan dari “door Duisternis tot Licht”, begitu populer didengar telinga. Kalimat ini seringkali kita dengar dan sering mengidentikannya dalam makna “pencerahan” intelektual ansich. Perjuangan Kartini dimakna sempit sebagai pelopor pemikir dan penggerak emansipasi perempuan. Habis Gelap Terbitlah Terang pun dimaknai sempit sebagai nasib kehidupan perempuan yang identik dengan terkungkung, terbelakang dalam aspek pendidikan kemudian mengalami momentum perubahan sosial. Sehingga perubahan dari kondisi keterbelakangan memasuki kemajuan ini dilukiskan dengan kalimat Habis Gelap Terbitlah Terang.
Sayang sekali. Penyempitan makna kalimat di atas bisa mereduksi pula hakikat dan sejauhmana pikiran dan peranan Kartini bagi perkembangan sosial kehidupan msyarakat di tanah Jawa di masa selanjutnya. Keunggulan pemikiran Kartini menjadi menyempit karena dimaknai sempit seperti di atas. Hal ini karena latarbelakang kemunculan kalimat Habis Gelap Terbitlah Terang tersebut tidak diungkap landasan filosofisnya dari mana. Karena itulah tidak heran jika kemudian, kelak jauh sepeninggal Kartini, katakanlah generasi kita sekarang banyak yang tak faham makna emansipasi perempuan yang pikirkan Kartini itu seperti apa. Kini lebih dimaknai dalam sisi artifisial dan seremonial. Pesan moral pemikiran Kartini bagi kemajuan Perempuan dan kehidupan sosial kebangsaan lebih luas akhirnya tidak tertangkap.
Bila menelisik berbagai sumber tentang kehidupan Kartini, ternyata penulis menemukan catatan bahwa Kartini merupakan perempuan muda yang memiliki pemikiran jauh ke depan dalam memajukan nasib bangsa. Pemikiran besarnya adalah melakukan perubahan sosial bangsa yang ada dalam alam feodal (akibat penjajahan dan kebodohan sendiri di kalangan bangsa pribumi) dengan cara memajukan kaum perempuannya. Karena dengan memajukan kaum perempuan akan membawa perubahan bagi kemajuan bangsa. Sebab dengan terdidiknya kaum perempuan akan berdampak signifikan bagi kualitas generasi yang akan datang. Kira-kira seperti itulah pemikiran besar Kartini.
Tetapi pemikiran maju dan untuk memajukan kaum perempuan dan bangsanya, tidak mudah bagi Kartini. Meskipun ayahnya seorang Bupati yang paling berpikir maju dibandingkan para bupati lainnya di tanah Jawa, beliau tetap masih berpikir konservatip dalam memandang perempuan. Dalam hal ini perempuan masih cukup jika pun tidak diberikan pendidikan yang sejajar dengan kaum laki-laki. Di sinilah letak perbedaan Kartini dengan ayahnya. Meskipun keduanya memiliki kesamaan dalam berpikir maju atau modern di zamannya. Kartini pemikirannya sudah melampaui pemikiran ayahnya sendiri.
Keresahan dan kegelisahan pikiran dan jiwanya inilah yang membuat dirinya melakukan kontak surat dengan teman-temannya bangsa Belanda. Karena Kartini memandang bangsa Belanda sudah maju dalam hal menempatkan kaum perempuan dengan memberikan kesamaan untuk mendapatkan pendidikan layaknya seperti laki-laki. Dalam hal ini sesungguhnya bukan hal tabu dalam ajaran agama yang dianut Kartini yakni agama Islam. Tetapi adat budaya feodal di tanah Jawa menunjukan kenyataan berlainan dengan konsep maju di Eropa (Belanda), juga berbeda dengan ajaran Islam sejatinya. Dalam hal ini Kartini belum begitu tahu kalau dalam ajaran Islam sesungguhnya kedudukan perempuan amat berharga dan dijunjung tinggi.
Daya pikir Kartini yang kritis akhirnya menemukan jawabannya dalam ajaran agama Islam karena persentuhan Kartini dengan guru ngajinya Kyai atau dikenal juga sebagai Syekh, Shaleh Darat. Kyai inilah yang memberikan tafsiran Al-Qur’an yang memuaskan hausnya jiwa dan pikiran Kartini. Karena itulah Kartini yang mengikuti pengajian tafsir di lingkungan pendopo kabupaten yang dibimbing Kyai Shaleh Darat ini memberikan usulan supaya Al-Qur’an itu diterjemahkan ke dalam bahasa lokal (Jawa). Supaya rakyat bisa memahami maksud tujuan dari ajaran Islam itu. Dari dorongan Kartini inilah Kyai Shaleh Darat menyusun terjemahan/tafsir Qur’an berbahasa Jawa, meskipun belum selesai 30 Juz karena beliau keburu wafat.
Karena itulah kita menjadi faham, kenapa Kartini tidak berubah haluan keyakinannya dalam memegang teguh agama. Meskipun dia dibujuk-bujuk oleh teman-temannya yang orang Belanda. Kartini sudah meyakini bahwa jawaban bagi kemajuan bangsa, dan kemajuan kaum perempuan itu sudah ada dalam esensi pelajaran Al-Qur’an. Dan Kartini pun semasa mengikuti pengajian dengan Kyai Shaleh Darat sudah menemukan tafsiran ayat Qur’an dalam surat Al-Baqarah, kalimat Habis Gelap Terbitlah Terang adalah terjemahan dari kalimat Qur’an “minadzulumati ilannur”…dari kegelapan menuju cahaya. Sebuah kesadaran yang menggugah jiwanya, karena dia menangkap esensi pesan moral alQur’an. AlQur’an merupakan pedoman hidup bagi manusia beriman yang akan menuntunnya dari “kegelapan kepada terang benderang cahaya”.
Dengan demikian pantaslah jika Kartini tetap memegang teguh agama Islam–yang “diwariskan” keluarganya. Dari garis ibunya,Kartini merupakan keturunan Kyai. Dari garis ayah merupakan keturunan bangsawan. Kita menjadi faham kenapa di pendopo kabupaten, ayahnya mendatangkan guru ngaji Kyai Shaleh Darat. Kedudukan Kartini sebagai murid Kyai Shaleh Darat selain murid-murid lainnya bisa dilihat dalam buku Intelektualisme Pesantren (Mastuki HS & M Ishom ELsaha, et.al, 2003 : 150). Selain itu pemikiran berkemajuan dari Kartini bisa dibaca pula dalam buku Kartini Sebuah Biografi ( Siti Soemandari Soeroto, 1979).
***
Jika memahami alur perjalanan kronologis hidup Kartini dan pemikiran kritisnya, serta interaksi spiritualnya dalam lingkungan pengajian Kyai Shaleh Darat, maka spirit kemajuan perempuan yaitu emansipasi perempuan niscaya tidak akan bergeser dari nilai-nilai moral budaya timur yang menjunjung tinggi akhlak mulia. Karena bersendikan pada spirit moral yang bersumber dari ajaran Qur’an. Ini amatlah wajar karena Kyai Shaleh Darat (1820-1903 M) adalah Kyai besar di zamannya. Beliau adalah guru dari para kyai penggerak perubahan sosial di tanah Jawa dan nusantara. Kyai Shaleh Darat adalah guru dari KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), KH Hasyim Asy’ari (pendiri NU), Kyai Dimyati (Tremas), Kyai Munawir (Krapyak) dan lainnya.
Jadi dalam diri Kartini terhimpun pola pikir modern dan spirit Islam berkemajuan. Darahnya mengalir sebagai bangsawan dan nasabnya sebagai salahsatu keturunan kyai. Serta pendidikan yang diperolehnya bersumber dari kemajuan barat (Eropa/Belanda) dan ajaran Islam dari kyai besar di zamannya. Maka kalau banyak yang beranggapan Kartini sekedar tokoh berpikir modern dalam dunia pendidikan perempuan dan emansipasi yang sempit, apalagi meruntuhkan nilai moral akhlak mulia yang Islami, itu sesungguhnya karena ketidaktahuan atas informasi riwayat hidup Kartini. Seorang keturunan bangsawan yang ingin hidupnya dipanggil biasa saja tanpa gelar, sehingga dia berkata “Panggil Aku Kartini Saja”.


Kasyaf